Selasa, 04 Desember 2012

Introduction to Independent Music Distribution

 Taken from an academic report. Further use of any part of this writings for any reason is prohibited unless you have permission from the writer, which is me.



Music has always been an integral part of our everyday lives. For as long as the history could remember, music – along with the other forms of art – has been used in every way possible. From political uses such as songs for The Dear Leader Kim Jong Il of North Korea to the usage of current pop songs for product advertisements, music is integrated into our lives both consciously and unconsciously.

Along with the wheel of time, music is changing its forms and uses throughout history. Music had gone a long, long way from being a part of an initiation ritual in the heart of Africa to a money-bearing commodities for recording companies’ CEOs, and even to a background tune in an elevator. Changes in the purpose of music is partly thanks to modernity and the technology for reproducing it. Like Walter Benjamin said in his writings The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction:

“(...)for the first time in world history, mechanical reproduction the work of art from its parasitical dependence on ritual. To an ever greater degree the work of art reproduced become the work of art designed for reproducibility. From a photographic negative, for example, one can make any number of prints: to ask for the “authentic” print makes no sense. But the instant the criterion of authenticity ceases to be applicable to artistic production, the total function of art is reversed. Instead of being based in ritual, it begins to be based on another practice – politic.(...)” (Benjamin, 1969)

From that point on, we can imagine how the work of music in the modern times can lead to music industries. Recording companies that publish and release musicians’ work throughout the world. Those companies are, in one way or another, responsible for what people hear. Music had been commodified along with the rise of capitalism.

With the rise of capitalim and the music industry, came with them the term “popular music” that we usually hear everyday. Music is somewhat standardized with the coming of music industry. Charts are filled with same songs around the world, more bands are influencing other bands to make music, celebrity and public-figure status donned by musicians and artists, and awards are given to those who sell the most. Thanks to them, too, that we can hear music everywhere in the world. The ever-expanding world of business and music industry made music well-distributed to the mass.

Music industry’s power is a close-call to hegemonic power. If a musician won’t make music that’s popular to the crowd, then he or she won’t make a good sale and live from their music. It’s true that there are lots of musicians and artists making music because they like it. It’s also true that lots of them stick to their “idealism” good. That’s why there are subcultures and countercultures. The resistance of some parts aside of the music industry are going their own way to keep making music. Their resistance – be it consciously or unconsciously – is what creates independent movement.

From Bristol to Tokyo, independent music movements – sometimes called “scene” – are growing. There will always be places for those who don’t go on the same path with popular music industry. Indonesia’s the same, too. From the early entry of western music in the first half of the 20th century to the banning of “ngak-ngek-ngok”  music to the charts and radio broadcasts filled with similar, cheesy love pop songs in the present day,  independent music scenes are there to counter the hegemony of popular music industry, even if they have to move beyond the radar.

Although the roots of Indonesia’s independent music scene can be traced to a distant past, its growth is more seen vividly after the fall of the new-order in 1998. This new “freedom” gave people, especially the youth, to enjoy and make music as the way they like it. New  “indie” artists and recording labels were emerging here and there, with Jakarta, Bandung, and Yogyakarta becoming the breeding grounds. Some of the independent artists considered “legendary” in the independent music scene like Pure Saturday, Jasad, Rumahsakit, and the likes are formed in these times. These movements has been continuing until the present day.

The ever-growing independent music scenes in Indonesia is a rather interesting things to observe because of its relations to many other things such as economy, social movements and mobility, youth culture, globalization, etc. However, independent music scenes are somewhat overlooked by experts. The proof of that case is the lack of literatures about that matter. To speculate about the cause of that “lack of interest” is like digging one’s own grave because we can, and we will, end up with infinite amount of things in our mind.

Jumat, 17 Agustus 2012

Sajak Keberadaan

Bayangkan jika dunia adalah papan tulis besar bernoda bekas hapusan kapur yang tak sempurna.

Mata-Mata yang memandang ke segala arah adalah titik-titik.

Jaringan titik abstrak yang nantinya membentuk pola, mungkin kalimat, mungkin persamaan, mungkin rumus yang pelik.

Tak lebih dari papan tulis besar bernoda bekas hapusan kapur yang tak sempurna, namun bertatahkan matematika.

Sekarang, aku adalah "X" di tengah-tengah rumus aljabar yang setengah jalan, menuju baris lain dari tak terhitung baris.

Cari aku di antara angka, deret angka, kuadrat, pangkat empat, pangkat lima, terus diulang sampai kapurmu habis.

Yang nantinya tidak terhapus dengan sempurna. Menjadi noda. Di antara pola.


-Yogyakarta, 18 Agustus 2012-
       Warung kopi 24 jam


Senin, 06 Agustus 2012

Logika dan Logaritma X Terhadap Rumus Dunia

Waktu itu hari Senin. Sekitar pertengahan bulan Agustus yang terasa lebih panas dari bulan-bulan lainnya. Panas adalah kondisi udara yang terasa menusuk kulit dan menibulkan ketidaknyamanan, khususnya bagi X. Temperatur tinggi dan angin menggebu membuat X melakukan hal yang hanya bisa dilakukan saat tidak bisa melakukan apa-apa: duduk di bangku taman dan terbengong melihat orang-orang yang lewat di sekitarnya. Taman itu berhawa malas. Cocok sekali dengan panas yang dibawa cuaca. Tidak begitu banyak orang di situ. Mungkin hanya beberapa pasangan tua yang berjalan pelan melewati ayunan dan jungkat-jungkit yang juga tua. Berderak sama dengan tua? Mungkin. Sendi-Sendi pasangan tua yang melintas itu juga sudah berderak menyapa era. Mungkin sekedar memberi salam pada masa mereka yang sudah lewat. Satu hal yang menimbulkan perasaan gamang adalah absennya anak kecil di taman itu. Hari senin memang penuh kekosongan. Malas. Panas. Hanya beberapa sendi-sendi tua yang melintas. X juga tua. Masa jayanya juga sudah harus disapa dengan derak sendi-sendi lewat paruh baya.

X memegang secarik kertas berhias banyak coretan dan tulisan tangan. Tulisan tangannya sendiri, tepatnya. Hanya angka-angka yang tersebar acak di permukaannya. 3, 1, 4, 1, 5, 6, 3, 7, 8, 5, banyak. Terlalu acak dan tanpa pola. Anomali yang sekali lagi muncul di hari yang Senin dan panas ini: tidak berpola. Siapapun tahu dan paham kalau semua yang ada di dunia ini berpola. Dari batu karang setengah terkikis di pantai berbukit Dover sampai burung gereja yang terkadang mengejek pemerintah kota seraya membuang kotoran di patung pahlawan perang di tengah taman kota. Pola bisa saja terlihat dengan mata telanjang, bisa juga didengar dengan seksama. Apapun yang bisa diterima dengan indera pasti mempunyai pola. Kita saja sebagai manusia kadang terlalu sombong untuk mencoleknya pelan di bahu. Senin, panas, dan Agustus juga mempunyai pola walaupun terasa samar seperti perasaan si patung yang dijatuhi bom organik burung gereja. X memegang secarik kertas berhias banyak coretan dan tulisan tangan. Tak berpola. Angka acak. Memang aneh hawa panas dan malas ini: mereka bisa mempengaruhi seseorang untuk keluar dari hukum alam yang adalah pola.

Matematikawan memerlukan angka untuk hidup layaknya seekor burung mencari tikus dan serangga untuk memuaskan saluran pencernaannya. Matematika adalah ilmu tentang ketuhanan karena yang dicari adalah hakikat dan makna dari segala yang diciptakan tuhan. Matematika berusaha mencari pola tuhan lewat angka. Tuhan itu angka, ya. Mungkin tuhan itu angka. Atau pola angka. Atau sebuah formula angka yang bisa melakukan dan menciptakan apa saja. X adalah seorang matematikawan. Dia membutuhkan angka untuk hidup. Dia, sebelum dia duduk di bangku taman dan terhanyut dalam hawa malas dan panas hari Senin pertengahan Agustus ini, berjibaku dengan angka dan formula. Mencari tuhan, katanya. Galaksi Bimasakti sampai cangkang siput sampai rasio emas memiliki unsur ketuhanan. X masih mencari tuhan. Segala penemuan dan jejak yang akan membawanya semakin mendekati tuhan dicatat dan diingat lewat coretan dan tulisan yang akhirnya menumpuk secara fisik di rak-rak buku di kamar apartemennya maupun secara nirfisik di kumpulan dokumen-dokumen data biner dalam cakram keras komputernya. Fisik maupun nirfisik, mereka adalah nutrisi bagi X untuk hidup. Untuk selalu berkutat dan mengejar ekor tuhan.

X ada di taman. Duduk diam di bangku taman menghadap beberapa ayunan dan jungkat-jungkit sambil memegang secarik kertas berisi angka acak tanpa pola. Tanpa sadar dia menolak tuhan. Dia menolak tuhan dan sifat ketuhanannya yang paling nyata: maha berpola. Apa yang ditulisnya bukan sekuens Fibonacci. Bukan angka di belakang desimal dari bilangan Pi. Bukan perhitungan rasio emas dari persegi empat banding tiga. Lelah dan malas terkena panas, itulah dia. Meninggalkan sejenak apa yang menjadi tujuan dan kebutuhannya. Melupakan sebentar apa yang mendorongnya dari belakang. X duduk dengan mata terpaku kosong ke depannya. Di dunia yang senantiasa berputar menurut pola. Di tengah pohon-pohon yang memiliki pola dalam setiap pembagian lokasi tangkainya. Di bangku kayu tua yang desainnya yang sederhana berawal dari atas kertas yang bergambar pola. X ada di taman di hari Senin yang panas di pertengahan bulan Agustus. Senin yang adalah titik awal dari rotasi hari kerja. Agustus yang adalah masa akhir dari musim panas dalam sistem kuartal empat musim. X ada di dalam pola. X adalah bagian dari pola. Namun, dia berada di atas kertas berpola tersebut.

Dia melayang di atas pola. Berjarak dari pola.

X sedang menjadi awam. Menjadi tuhan di dunia tanpa pola.


Yogyakarta, 7 Agustus 2012
Warung 24 jam. Baru lewat tengah malam
Tersihir matematika

Jumat, 27 Juli 2012

Sore Mereka Ada Di Langit

Anak-Anak kecil bertarung sepanjang garis. Tak terlihat, ya, memang garisnya tak terlihat. Tarung dan kejar. Menarik lengan lawan, singsing lengan baju, selengkat sana selengkat sini, keras tanah merah tanpa hujan, gila. Lalu jerit sakit bercampur dengan semangat. Semua kompak: "Aku lebih dulu!" "Aku lebih pantas!" 


(mungkin) mereka terjerat dalam temali berkelindan persaingan. Masih sangat muda pula.

Yah, siapa yang mau kalah, bukan. Tidak ada yang mau tertinggal sendiri di dunia ini. Satu-Satu mereka berjatuhan dan keluar dari garis. Mengaduh, kasihan. Lutut mereka lecet-lecet. Beberapa malah berdarah. Ada yang menyesal bersamaan dengan tubuhnya terjerembab ke tanah: Kenapa? Beberapa lagi menjadi lelah. Mata berkaca dan bulir-bulir jatuhlah. Tangis. Menangisi karena apa yang ditangisi tidak lagi terlihat. Kasihan. Ayo cepat pulang.

Yang tersisa masih meronta. Yang bertahan masih bersaingan. Langit mejadi lembayung menandakan jarak yang mereka tempuh telah lebih jauh dari lapangan ke rumah mereka. Menuju kejayaan, menuju supremasi. Siapa yang giat dialah yang mendapat. Aku harus menang, mereka harus tumbang. Melewati beberapa rumah lagi tanpa sadar kaki mereka sudah gemetaran. Sayup terdengar seruan: "Hati-Hati tersandung." Ah, tidak peduli. Garis yang memandu mereka masih terlihat walaupun sesekali kabur. Itu tandanya mereka harus tetap berlari.

Mereka harus tetap menarik lengan satu sama lain. Menjegal langkah kaki lainnya. Sambil mungkin terus menatap ke depan. Masa muda milik mereka. Lebih dari sekedar layang-layang: Mereka mengejar cita-cita.


Yogyakarta, 28 Juli 2012
01.45 pagi. Teh Lemon Dingin
Diambil dari akun Twitter @luthfinggihmas
Judulnya di sana: Masa Muda Mereka Ada Di Langit  

Selasa, 24 Juli 2012

Jarak Dunia Kita Dalam Formula Matematis

Satu, satu, dua, tiga, lima, delapan, tiga belas, dua puluh satu, dan seterusnya, dan seterusnya. Angka selanjutnya dalam sekuens itu adalah hasil penjumlahan dua angka di belakangya. Jadi, urutan sekuens ke 100 adalah hasil penjumlahan dari urutan ke 98 dan 99. Begitu juga dengan urutan-urutan selanjutnya. 


Atau urutan sebelumnya.

Jika kita bayangkan bahwa urutan pertama adalah aku, apa yang ada di urutan ke lima? Aku, aku, kamu, kita, kita dan satu anak kita. Urutan kelima adalah kita dan satu anak kita. Apa yang ada di urutan ke seratus? Apakah akan menjadi seperti silsilah keturunan Adam dan Hawa? Mari kita coba sederhanakan menjadi sebuah formula matematis.

ika nomor urutnya adalah F dan urutan sekuensnya adalah x, Aku (F) ada di urutan pertama. Jadi Aku adalah F1. Kamu adalah F3, kita adalah F4, dan seterusnya. Kita coba cari F100 dari urutan sekuens tersebut. Sulit. Tidak bisa menjadi sederhana. Sulit, karena jarak antara urutan tersebut akan sama dengan jarak normal urutan sekuens awal: satu, satu, dua, tiga, seterusnya. Jadinya akan seperti lingkaran sempurnya. Terus berjalan sampai ketidak-terbatasan.

Nah, mari kita berpegangan tangan. Bayangkan bahwa panjang tangan kita yang berpegangan ini adalah diameter lingkaran tersebut.

Kita dekatkan diri kita. Semakin sempit. Panjang diameter berkurang. Tetap saja menjadi lingkaran.

Bahkan sampai kita cukup dekat untuk aku memelukmu. Tetap menjadi lingkaran.

Sampai tubuh kita bersentuhan, dan bibirku bisa menyapa bibirmu dengan ciuman. Tangan kita tetap menjadi diameter lingkaran. Sampai kita merasa tidak berjarak. Dari lingkaran yang terlihat sampai jadi titik.

Sekuensnya tidak berubah: Satu, satu, dua, tiga, lima, dan seterusnya. Aku, aku, kamu, kita, kita dan satu anak kita, dan seterusnya.

Radius diameter, seberapa jauh pun itu, dan seberapa rumit pun formula untuk menyederhanakannya, bukan poin utamanya. Asalkan kita berani memperkecil lingkaran sampai akhirnya menjadi titik, Formula jarak akan bisa sederhana.


Yogyakarta, 24 Juli 2012, 22:42 p.m.
diambil dari akun Twitter saya, @luthfinggihmas 
hashtag #cerita. Judul asli: "Dua Semesta Kita Dalam Sekuens Fibonacci"

    

Kamis, 19 Juli 2012

'Kadang' Mungkin Lebih Dari Sekedar Penunjuk Waktu

Kadang saya suka bingung sendiri dengan kemampuan menulis saya. Sesaat bagus, kemudian berantakan. Mau bagaimana lagi. Saya sedang belajar. Kamu pun pasti belajar. Mereka belajar. Kita juga belum selesai belajar.

Bingung itu kata serapan dari mana?


-yogyakarta, 19 Juli 2012-
Warung internet dan sepi

Rabu, 18 Juli 2012

Hari-Hari Menunggu Mati

Senin: Terikat pada rel kereta api. Menunggu mati dengan elegan dan berkelas. Kereta eksekutif dari Surabaya.

Selasa: Terikat pada sebatang kayu jati kualitas ekspor. Menunggu mati dengan mahal dan mewah. Jati Jepara.

Rabu: Terikat pada komitmen dengan supermodel. Menunggu mati dengan cantik dan glamor. Model majalah ternama.

Kamis: Terikat pada pembelajaran di Universitas terkemuka. Menunggu mati dengan cerdas dan bijaksana. Universitas nomor satu se-Indonesia.

Jum'at: Terikat pada jok mobil sport keluaran pabrikan Italia. Menunggu mati dengan cepat dan prestise. Mobil balap jalan raya.

Sabtu: Terikat pada kewajiban menghormati orang tua. Menunggu mati dengan hormat dan cinta. Orang Tua yang bahagia.

Minggu: Terikat pada tempat tidur lusuh di kamar tanpa cahaya. Menunggu mati dengan jujur dan terbuka. Tempat tidur kayu reyot sederhana.

Sekarang hari apa?

Sabtu, 07 Juli 2012

Dalam Tangis Ada Harapan Lewat Tangis

Dan Eliah beserta adiknya, Maria, secara seksama mendengarkan suara tuhan di tengah kekacauan yang sedang terjadi di kampungnya. "Kamu akan mengetahui bahwa aku adalah tuhan saat aku membalaskan dendam dengan tanganku kepadamu", mungkin dari injil Ezekiel, tapi Eliah lupa pasal dan ayat yang mana. Suara tuhan yang menggelegar, menghadirkan berbagai perasaan yang campur-aduk, berkumandang di telinga Eliah bersamaan dengan jeritan dan tangisan warga kampungnya yang berusaha melarikan diri dari kobaran api dan hujan misil. Menyatu dengan sangat lembut dengan darah dan potongan tubuh yang melayang malang-melintang di depan mata Eliah dan Maria.

Mereka adalah anak-anak yang tertinggal - atau ditinggalkan? - oleh takdir dan waktu. Menyaksikan dengan mata mereka sendiri bagaimana proyektil misil merobek tubuh ibunya sampai terpencar, cerai-burai tak karuan, adalah pemberian dari singgasana langit untuk mereka: anak-anak yang lahir dari rahim konflik dan kekerasan. Kesalahan mereka, sampai pada titik diberikan pemandangan yang brutal dan sadis tadi, bukanlah karena mereka telah menumpahkan darah orang-orang tak berdosa ataupun melakukan tindakan terorisme di negara-negara maju. Kesalahan mereka adalah dilahirkan di sebuah desa di lembah berbatu dekat celah Khaibar. Sebuah tempat di mana seteru negara dan dunia berkumpul. Sebuah tempat di mana negara-negara adidaya - yang katanya dirugikan oleh tindakan kekerasan dan terorisme - menempatkan jarinya untuk menunjuk "siapa yang salah" sambil menutup dua mata. Kesalahan yang cukup fatal sehingga mereka, sebagai anak-anak yang masih kecil dan dibolehkan menaruh harapan setinggi apapun yang mereka mau, dianggap layak untuk menyaksikan parade "darah dan potongan tubuh berceceran" dari singgasana langit, tempat mereka menengadahkan kepala untuk berdoa.

Eliah dan Maria selamat dari "anugerah" tersebut. Mereka bersembunyi di celah batu, sedikit di luar desa, sambil menyaksikan kengerian yang tersaji di depan mata mereka.

Tapi mereka tetap berdoa. Tetap menengadahkan kepala mereka ke arah langit. Tetap memohon kepada tuhan agar festival darah dan pembunuhan di depan mereka cepat berakhir.

Mungkin tanpa mengetahui bahwa apa yang merobek tubuh ibu mereka menjadi serpihan-serpihan daging kecil-kecil dan tidak teridentifikasi adalah dia yang menjadi tujuan doa mereka.

Ironis.


-Achmad Luthfi, 8 Juli 2012-
Siang hari dan bir dingin. Kekesalan, kemarahan, kepasrahan.
Yogyakarta (sedikit) utara

Kamis, 21 Juni 2012

Tidak Mati, Hanya Kembali

Aku bersandar pada sedikit sandaran berbusa yang (tadinya) tebal. Punggungku terasa seperti sudah berjalan lebih dari 479 kilometer tanpa berhenti, paling tidak untuk mengisi ulang bahan bakar atau membeli minuman energi. Patah? Mungkin akan, tapi tidak sekarang. Mungkin. Sekarang aku masih prima, sehat, hanya sedikit nyeri dan pegal pangkal punggung. Lumbago, ah, itulah nama penyakitnya. aku ingat telah membaca mengenainya di koran berbau otomotif yang waktu itu teronggok lusuh di kamar temanku.

Setelah ini, setelah bersandar, aku menyalakan televisi. Mudah-Mudahan ada acara yang bagus.

Rupanya tidak ada. Aku terus mengganti saluran televisi sampai aku merasa acaranya cocok dan pas untuk dinikmati dengan santai. Kopi? Ide yang bagus. Aku jalan ke dapur dulu. Kopinya di rak nomor berapa? Perasaanku, terakhir kali aku menaruhnya adalah di rak nomor dua dari kanan, dekat dengan piring dan sendok. Pasti di situ.

Rupanya tidak ada! Aduh, bagaimana ini? Adanya hanya beberapa kantung teh bulat teronggok. Masih ada air panas kah? Masih ada rupanya. Tuang dulu saja, setelah itu aku celupkan di cangkir bergambar beruang madu dan gentong madunya, gelas kesayanganku. Hmm, siapa nama beruang itu? Yang aku ingat hanyalah anak manusia yang menjadi teman si beruang dan teman-temannya. Christopher, ya. Oh, ya, tehnya sudah lumayan pekat. Aku lebih suka yang tanpa gula.

Lanjut mencari acara televisi yang bagus sepertinya oke.

Ah, ya, sudah sore rupanya.

Sayang sekali tidak ada acara televisi yang bagus.

Kalau ada, perpisahanku akan sempurna. Ah, kenapa grafik penanda detak jantung ini tidak kunjung menjadi garis? Aku ingin cepat kembali. Siapa tahu, di sana nanti aku bisa duduk santai mengistirahatkan pangkal punggungku, sambil menonton televisi yang acaranya bagus semua.

Semoga saja di sana kopiku benar ada di rak kedua dari kanan, dekat dengan piring dan sendok.


-Yogyakarta, 21 Juni 2012-
22.12 malam, teh hangat,
warung 24 jam

Senin, 18 Juni 2012

Secangkir Kopi di Utara Yogyakarta


Dulu sempat ada yang mampir secara berkala ke warung kopi ini. Satu-dua orang, mungkin tiga, entahlah. Aku tidak begitu ingat masa-masa itu. Jarang sekali, walaupun tetap ada, mereka yang datang sendiri dan menyesap kopi perlahan di dalam maupun teras luar. Semua tempat dan posisi adalah kursi dan meja, tidak lebih. Asalkan mereka bisa duduk dan melakukan apapun yang mereka mau dan pantas dilakukan (menurut mereka) di warung kopi ini, mereka bebas duduk dan memilih tempat di warung kopiku. Ya, tempat ini terbuka untuk siapa saja. Tua, muda, pria, wanita, robot, manusia, semuanya.

Sepanjang yang aku tahu, warung kopi ini tidak pernah mengalami perubahan yang berarti. Semua masih sama: lantai parquet kayu, kursi-kursi kecil dan meja-meja bundar yang tidak sama, lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk, tidak ada yang berubah. Ah, sudah berapa tahun sejak aku membuka warung ini, sepuluh? Lebih. Sepertinya sudah dua puluh tahun lebih aku duduk santai di belakang meja kasir sambil sesekali menuang biji kopi ke mesin penggiling lalu memrosesnya di mesin pembuat kopi, untuk selanjutnya dihidangkan panas di dalam gelas (yang entah mengapa gelas-gelasku semuanya bermotif binatang. Sepertinya sudah tertanam dalam alam subsadarku kalau aku menyukai binatang. Setidaknya motifnya). Seingatku, selama aku melakukan proses penggilingan, pembuatan, dan penyajian tersebut tempat ini tidak pernah berubah. Toh, ini warung kopi milikku.

Kopi sudah menyatu dengan aliran darahku, sepertinya. Aku suka aroma kopi yang menyeruak menembus hidungku. Segar, tidak berat. Entah itu kopi instan atau biji kopi – yang menurutku – berkualitas tinggi dari perbukitan di Temanggung, aku suka semuanya. Aku juga masih sedikit ingat tentang bagaimana dulu aku suka memakan biji kopi setelah ayahku memanggangnya. Batch panggangan pertama adalah yang paling enak menurutku. Oh, ya, beberapa pelangganku yang datang ke sini dengan membawa serta anaknya juga mengatakan bahwa mereka sering memakan biji kopi sewaktu mereka kecil. Aku bersyukur bahwa kesenangan yang hadir beserta gigitan pada biji kopi tidak hanya untukku semata. Hal itu juga membuatku tidak merasa menjadi orang aneh karena suka makan biji kopi.

Entah apa yang membuat orang-orang datang dan mampir ke warung kopi ini. Letaknya agak jauh dari kota. Ya, kalau kita masih bisa menyebut itu kota. Yogyakarta lebih mirip sebuah desa besar, menurutku. Jalan aspal yang tidak begitu bagus dan retak di sana-sini serta beberapa puing-puing bangunan di pinggir jalan. Dulu belum begitu banyak hal seperti itu. Rumput di sepanjang jalan juga belum setinggi sekarang. Aku ingat dulu ibuku sering bercerita tentang bagaimana dari teras rumah ini (yang sekarang adalah warung kopi) dia bisa melihat gunung Merapi dengan jelas. Gunung Merapi tampak gagah dan kokoh berdiri di atas awan, katanya. Ibu seringkali bercerita tentang bagaimana pucuk Merapi begitu lancip menantang langit, dan menjadi tempat persemayaman dewa-dewa. Sungguh tidak bisa dipercaya kalau gundukan tanah dan batu yang lebih menyerupai mangkuk itu dulunya tajam dan jumawa menggapai surga. 

Kemarin, dua orang datang ke warung kopi ini. Mereka adalah sepasang suami istri yang tampaknya berumur lebih dari paruh baya. Sang suami datang dari wilayah barat, jauh dari seberang selat Purwokerto, kalau tidak salah. Istrinya berasal tidak jauh dari Yogyakarta, hanya sedikit ke timur. Dekat dengan pantai Jebres, katanya. Mereka memesan kopi Lintong dan seingatku dua gelas kopi itu habis sangat lama. Mereka duduk dan sesekali mengobrol untuk selanjutnya menatap ke arah perbukitan Merapi di utara. Sempat terselip beberapa tawa di antara obrolan mereka. Aku samar-samar mendengar tentang bagaimana keadaan sekarang telah berbeda dengan waktu keemasan mereka dulu, bagaimana Jawa sudah semakin sepi, bagaimana mereka menggambar karakter-karakter binatang di atas tisu dan kertas menu (yang mana gambar-gambar itu kusimpan di laci mejaku), bagaimana mereka suka duduk menatap luar jendela dan menikmati angin semilir menyapa wajah mereka. Dua orang itu tampak begitu menikmati waktu mereka di sini. Mereka tampak sangat mengerti dan menghargai nilai setiap detik yang berlalu di warung kopi ini. Aku pun sangat menikmati setiap detik waktu yang berjalan saat itu. Percakapan dan tatapan-tatapan mereka yang santai dan sederhana membuatku berpikir sejenak dan bersyukur: menjadi dewasa sepertinya tidak begitu buruk, apalagi jika ditambah beberapa gelas kopi dan obrolan santai, karena waktu tidak akan berhenti untuk menyapa walau sekejap pun. 

Ah, aku harus mengoreksi kata-kataku di awal tadi. Warung kopi ini lebih dari sekedar susunan kursi-kursi dan meja-meja untuk menikmati kopi. Warung kopi ini adalah prasasti waktu penuh makna, setidaknya bagiku dan sepasang suami-istri yang datang kemarin.


-Yogyakarta, 19 Juni 2012-
02.25 pagi. Warung 24 jam
Ingat kucing biru dan ibunya

Sabtu, 16 Juni 2012

Satu-Dua Paragraf Tentang Cinta

Aku menengadah menghadap langit, berharap ada tangan bercahaya terulur ke arahku. Lalu mungkin aku akan terbaring lemah di kasur yang berisi kapuk mati ini. Milikmu, ya, milikmu. Kasur ini milikmu. Kasur yang tidak berada dalam kungkungan empat sisi tembok dan eternit di atasnya, langsung berhadapan dengan langit. Di sekelilingku adalah hamparan pasir abu-kecoklatan yang motifnya - sedikit banyak - mirip dengan corak calico untuk bulu kucing. Hampar pasir ini pun milikmu, walau kamu tidak menyadarinya.

Langit yang kupandang kosong dari tadi juga polos. Hitam dengan titik-titik putih bintang yang sesekali muncul lalu meredup lalu mati, untuk selanjutnya muncul, meredup, dan mati di tempat lain. Tempat lain yang mungkin aku tidak melihatnya (atau tidak menyadari sehingga aku tidak melihatnya). Aku sudah beberapa jam termenung dalam posisi seperti ini. Tangan bercahaya yang kuharap akan datang, sehingga tungguku tidak sia-sia, belum juga datang. Belum sia-sia. Masih belum sia-sia. Tapi, aku bisa saja mendadak menyadari kalau tangan bercahaya yang kutunggu itu sebenarnya bersifat sama seperti bintang: bisa muncul, meredup, lalu menghilang. Tanpa aku melihatnya atau menyadarinya. Toh, itu bukan tanganmu, aku tidak tahu. Yang penting aku tetap mencintaimu walau aku menunggu tangan bercahaya terulur turun dari langit.

Karena "dia" tidak aku ketahui. Sedangkan kamu, aku mengetahuimu apa-adanya.


-Yogyakarta, 17 Juni 2012-
sekitar dua jam tiga puluh menit
lewat tengah malam

Jumat, 15 Juni 2012

Merry Christmas, Freak

The night is high and we can barely feel our toe because of the cold
Our clothes, oh our trousers and coats, can't hold the chill. Oh, the chill

It's Christmas time. This cold European soil is drenched in snow.

Yes, we can hear the tingling sound of Christmas carols from the other side of the wall


But we are at the other side of the wall. The outer side of the wall

Let me ease the cold for you, to help you pull through
       With the way that only i know how, to dance and raise your eyebrow

To sing and chant and frolic in my coat and trouser. To heat your every sense

I'll be on the smaller stage at the freak show. To make everybody happy and probably laugh
And to make everybody forget about the exhaustion and coldness of Christmas



Yes, i'll be on the smaller tent in your freak show



-16th of June, 2012-
After Midnight
          

Rabu, 13 Juni 2012

Ibu Bersumpah

Kamu meninggalkan jejak di karpet dunia tanpa sempat berkeluh dulu, lalu hilang. Ke mana?
Berjalanlah kamu di atas karpet dunia. Karpetku. Mati pun kelak kau di situ
Untuk tanganmu yang telah berlumur darah, merah, saudaramu. Kau akan berjalan selamanya.
Ayahmu. Ayahmu. Ibumu, yang sengaja-tidak sengaja merelakan rahimnya untuk kau huni sembilan bulan sepuluh hari.
Dan saudaramu juga, sembilan bulan sepuluh hari.
Kamu tinggalkan dia di dalam tanah merah. Mungkin kering karena sapuan anginku. Tapi masih berbau
Kelak kamu akan menyusul beristirahat di dalam tanah merahku, di bawah karpetku. Mungkin sebagai pengganti rahim ibumu. ibumu.
Lalu hilang. Mati satu tumbuh tak terbatas.
Untuk pembunuhan selanjutnya, untuk pengembalian selanjutnya
Dari rahimku lahir ibumu, ayahmu. Dari rahimnya lahir kamu. Kembalilah, setelah kamu lelah meninggalkan jejak langkah
Karena itu sumpahku sebagai Ibu.         

-Yogyakarta, 14 Juni 2012-
03.45 a.m.
Rindu 

Selasa, 17 April 2012

Selamat Sore, Senja

Melawan kantuk untuk melihat senja. Ya, dia memang mempunyai pendirian yang kuat sejak dia kecil. Apa yang diinginkan pasti terlaksana walaupun kadang membutuhkan waktu yang lama. Sama seperti hari ini. Mengabaikan pejaman mata pada malam berikutnya karena rupanya pendar layar komputer jinjing memaksa matanya untuk berasyik-masyuk, bercumbu rayu sampai lintas dua belas malam. Sekarang? Tubuhnya sudah lemas, hanya bersandar di sofa kulit hijau muda. Komputer jinjing masih terbuka di meja kopi di depannya.

Senja mungkin adalah sesuatu yang sangat berharga untuknya. Dia, yang sehari-harinya harus membelah aspal menuju rutinitas, harus membaca berlembar-lembar jurnal dan artikel, harus menyusur buku dengan pena, harus membayar gairah dengan lelah, mungkin menemukan damai dan kekuatan dari senja. Senja sendiri baginya tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata: mengapa senja bisa begitu menarik dirinya? Apa yang membuat senja begitu kuat sampai dia bisa mengabaikan rasa lelahnya? Mungkin karena senja itulah yang menyambutnya di rumah. Lembayung jingga beradu birunya cakrawala itulah yang setia menyapanya setelah berjam-jam dia membelah aspal, berlembar-lembar dia membaca, beribu-ribu kata ditulisnya.

Leher lelah menengok ke jam tangan di pergelangan kirinya. Sekarang sudah pukul enam kurang lima belas menit. Sebentar lagi dia akan datang menyapa, pikirnya. Beranjaklah dia, pelan, menuju pekarangan rumahnya. Tangan kanannya memegang cangkir kopi yang isinya bergoyang seraya langkahnya berangsur gontai. Beberapa tetes telah jatuh ke lantai. Nanti saja aku membersihkannya, pikirnya. Langkahnya yang semakin cepat mengusir kepeduliannya akan beberapa titik noda kopi yang jatuh itu. Makin lama makin jauh, jauh, semakin jauh.

Hap, duduklah dia di ayunan kecil di pekarangan. Tangan kanannya masih memegang gelas kopi dengan sedikit bergetar. Ayunan itu rupanya mempersulit untuk mendapatkan pijakan yang stabil dan pasti. Yah, apa daya tidak ada meja, Menahan sebentar pun tidak terasa. Setelah dirasa goyangannya melemah, dia menatap lurus ke arah barat di batas cakrawala. Hari ini cerah seperti biasanya di tengah tahun ini. Semburat jingga mulai nampak di pantulan kacamatanya. Makin lama makin kuat, makin dekat, makin intim, sampai akhirnya sang bola jingga muncul dengan gagah dan sempurna, bersanding di singgasanya yang adalah gradasi lemah biru langit khas enam sore.

"Selamat sore juga, senja. Terima kasih masih menungguku di rumah" bisiknya lirih.

Senyumnya lemah, tapi ikhlas dan apa-adanya.


-Yogyakarta, 18 April 2012-
Tepat Tengah malam dan kopi

Kamis, 05 April 2012

Tanganmu, Wahai Dewi Kali

Genggamlah, anak-anakku. Genggam tangan ibumu ini, Sang Dewi Kali. Dewi waktu. Dewi yang bisa menginjak siwa dalam tariannya.

Genggamlah, anak-anakku. Genggam tangan ibumu ini, Sang Dewi Kali. Sang Kalaratri, Sang Malam yang hitam dan kelam.

Genggamlah, anak-anakku. Genggam tangan ibumu ini, Sang Dewi Kali. Dewi Kematian. Pemegang akhir sang iblis Raktabija.

Genggamlah, anak-anakku. Genggam tangan ibumu ini, Sang Dewi Kali. Dewi Akhir. Aku yang dipanggil oleh Durga karena ketidak-mampuannya.

Selasa, 06 Maret 2012

Jalan Kita Sedikit Berlubang

"Mohon Tidak Membuang Sampah Di Area Taman"

lalu ibu yang sedang merokok itu berdecak tidak puas. dia harus berjalan sedikit lebih jauh rupanya.

rumah sakit ini memang begitu. semuanya diatur dan semuanya teratur.

berapa jauh lagi sampai tempat sampah jingga itu? sepuluh meter? lima belas?

abu rokoknya sudah panjang namun belum jatuh. tangannya diposisikan horizontal.

ibu itu berdecak sekali lagi. matanya jengkel luar biasa.

akhirnya dia memutuskan untuk mendekati tempat sampah jingga itu. hanya dua belas meter dari tempat dia berdiri tadi rupanya.

plung, dibuanglah puntung rokoknya. hanya rokok putih biasa. tanpa cengkih dan rempah lain. khas - katanya - Amerika.

sang ibu segera mengeluarkan batang lainnya dari bungkus merah putih, tergesa.

sepertinya dia tidak akan beranjak. waktunya lebih berharga daripada berjalan membuang puntung rokok.

pemantiknya klasik dari perak. terukir juga tanggal pernikahannya. 24 Desember 1974.

bunyi "kling" terdengar lirih saat dia membuka tutup pemantiknya. sumbu tak kunjung menyala.

ibu itu berdecak lagi. rokoknya sudah menggantung di bibirnya. gabus penyaringnya pun sudah setengah basah. api? belum ada.

ada beberapa kali pengulangan. ibu jari kanannya sudah sedikit menghitam karena abu dan arang. belum juga tersulut rokoknya.

sampai akhirnya muncullah sang api. wajah ibu itu terlihat puas.

belum selesai hisapan pertama, pintu bangsal terbuka. perhatiannya teralihkan oleh sosok pria yang melangkah ke luar.

sang ibu sejenak tertegun. lalu rokok yang masih panjang itu dimatikan di tempat sampah jingga. 

langkahnya menjauh seiring dengan bara api yang perlahan padam.

"bagaimana?" tanyanya. suaranya sedikit tertahan.

"kanker. sudah menjalar rupanya" jawab pria yang baru keluar dari bangsal.

sang ibu menghela napas. menunduk. lalu dia menengadah, kembali menatap sang pria tepat pada matanya. tersenyum simpul.

"ayo pulang. aku sudah meminta Sulastri memasakkan ayam goreng mentega kesukaanmu. Johan juga sebentar lagi pulang" ujar sang ibu.

digandenglah tangan sang pria. lalu mereka berjalan menuju parkiran. langkah mereka pelan dan penuh keraguan.

langkah mereka terhenti sebentar di samping tempat sampah jingga. sang ibu merogoh kantong celananya. bungkus rokoknya masih ada.

bungkus rokok yang masih berat itu dikeluarkan dari kantongnya lalu dimasukkan ke tempat sampah jingga itu.

dan mereka meneruskan langkah mereka. tempat parkir mobil lebih terasa jauhnya daripada siang tadi. 

      
sebelumnya sudah diposkan di akun twitter saya, @luthfinggihmas, dengan hashtag #jalan

2 maret 2012 lalu
                    

Sabtu, 03 Maret 2012

Kopi Pak Kumis Masih Hangat

"kopi, kopi, teh hangat, jahe wangi", begitulah bapak berkumis itu berseru.

sambil terus berjalan gontai, menghindari tubuh-tubuh yang malang-melintang diserang lelah.

sesekali harap muncul di sinar matanya. "kopi pak?" sambil menyodorkan bungkus kopi lokal yang menggantung di termosnya.

ah, rupanya hanya bertemu pandang. tidak berujung uang. bapak berkumis itu menghela napas. lalu kembali menyusur gerbong.

gerbong berikutnya bertepatan dengan stasiun Purwokerto. mendadak saja cemas merangkak ke air muka sang bapak berkumis.

perhentian berarti pergantian. akan ada lagi legiun baru kopi panas dan jahe wangi yang naik ke rangkaian gerbong. 

langkah sang bapak berkumis semakin cepat. "kopi panas, teh hangat jahe wangi..." seruannya mengeras seadanya.

gerbong berikutnya. bapak berkumis berpapasan dengan pemuda berbaju band lokal. sama rata dengan termos dan kopi.

bapak berkumis mengangguk pelan dan tersenyum. namun sepertinya si pemuda berbaju band lokal tersebut tidak menyambutnya.

saling lewat tanpa sapa, terjadi begitu saja. pemuda ke gerbong tiga, bapak berkumis ke gerbong satu.  

mereka sudah semakin jauh. suara sang pemuda masih terdengar, walaupun sayup, di tengah riuh-rendah suasana. 

pita suara dikalahkan usia? mungkin. yang jelas bapak berkumis merasa yang menang adalah suasana.

klakson kereta sudah berbunyi nyaring. saatnya bapak berkumis turun dari singgasana. napas kembali terhela.

"kopinya pak. yang hangat-hangat" seruan terakhir dikeluarkan dengan sisa semangat. ah, tetap tidak terbalaskan.

mungkin memang hari ini bapak berkumis harus mengalah. dia lalu turun pelan-pelan dari gerbong.
   

"piye?" sambut temannya dengan tanya. sesama penjaja kopi juga rupanya. tapi yang ini tidak berkumis.

bapak berkumis hanya tersenyum. di belakangnya sang ular besi sudah mulai merangkak lagi menuju yogyakarta.

"sesuk luwih akeh sing tuku" jawab bapak berkumis kepada temannya yang tidak berkumis.

lalu mereka tertawa pelan namun ikhlas. tawa mereka terdengar manis di tengah hiruk-pikuk stasiun Purwokerto pagi itu.


yogyakarta, 1 Maret 2012
sebelumnya diposkan di twitter dengan akun @luthfinggihmas
hashtag #kereta

 
     

Selasa, 07 Februari 2012

Mimpi Angkasa Dan Surat Dari Bulan

KERTAS adalah putih dengan bercak bulat sempurna di bagian pinggirnya. bercak sewarna endapan kopi. itu pasti kopi. tidak ada pensil untuk mulai menulis, atau menggambar. semesta telah menggantung di depan mata, padahal. menengok perlahan ke kalender meja. simpel. merah dengan beberapa foto hasil teleskop Hubble. sekarang tanggal 23 Februari. tinggal beberapa hari lagi sebelum aku berangkat. 29 Februari. sudah ada lingkaran biru di tanggal itu. 


Aku akan pergi ke Mars.


mimpi manusia yang tertinggal di bulan, 1969, akan tertutup oleh langkahku. dunia akan bangun dari tidurnya. sekarang manusia sudah bisa bermimpi di bulan. 75 tahun terlewat setelah langkah kecil Armstrong. 


yang tentunya adalah langkah besar bagi kemanusiaan.


dari mereka yang tertidur di bulan, dengan segala udara dan gravitasi artifisialnya, mimpi untuk melangkah lagi semakin besar. aku salah satunya. duduk di depan meja kerja dengan secarik kertas kosong bernoda gelas kopi. 


tanggal 23 februari pukul delapan lebih lima menit, waktu Mare Tranquilitatis. Koloni Goddard. Bulan.


aku bangga, sebenarnya. menjadi orang yang dipercaya mewakili langkah manusia menuju semesta. walaupun berbeda ribuan kilometer antara aku di sini dan mereka di "titik biru pucat" itu, langkah kami tetaplah sama. satu kaki menjejak ke depan kaki lainnya. menunggu kejutan semesta dengan debaran jantung tidak karuan. 


Aku, meja kerja, kertas, noda kopi, kalender meja, 23 Februari, bulan.


sejenak terpikirkan: apa kabarnya mereka di sana? bagaimana lautan dan pantai yang menghampar di selatan Yogyakarta? bagaimana rasanya menghirup udara alami dari atmosfir yang bukan hasil kerja manusia? bagaimana rasanya menjejak kaki di tanah tanpa bantuan gravitasi rasa mesin? apa masih sama rasanya berbaring di tanah dan memandang bintang, seperti 24 tahun yang lalu? aku ingat rasanya, waktu aku sekolah dulu sering aku menyelinap ke luar pada malam hari. saat semua sudah tidur. pergi ke kawasan Candi Abang, masih di dekat Prambanan. lalu aku berbaring seadanya di rerumputan, memandang lautan bintang yang terasa jauh. jauh sekali. jarak yang harus kutempuh dan kubayar untuk bisa melewatinya. lalu aku pulang sebelum terang. sebelum semua orang rumah terbangun dan kembali beraktivitas. 


Sekarang aku ada di permukaan bulan. melihat lautan bintang yang sama. hanya saja ditambah "titik biru pucat" yang besar sekali.


namun apa yang kurasa? jarak itu tetap ada. tetap tidak terbatas. walaupun aku telah meninggalkan Candi Abang sejauh ribuan kilometer ke atas. aku tetap merasakan jarak tak terhingga. jika aku sampai Mars nanti, apakah jarakku dengan lautan tersebut akan berkurang? aku, yang ingin segera sampai di lautan itu, apakah akan puas dengan jarak yang akan terpotong nantinya? walau nantinya akan ada koloni baru di Mars dan siap melangkah lagi, apakah jaraknya akan semakin habis? 


Merenung. terdiam. kertasku masih kosong. kertas kosong tanpa ada apa-apa. melambangkan semesta yang maha luas. aku tersesat di dalamnya. 


ah, aku tahu apa yang akan aku tulis di kertas ini.


aku akan menulis tentang rencanaku sepulangnya dari Mars nanti. yah, masih delapan tahun lagi, sih.


tapi tidak apa-apa. toh jarakku dengan lautan utopia tersebut tidak kemana-mana kan?


setelah pulang nanti, aku akan mengajakmu berjalan-jalan keliling bumi dan bulan. setelah itu mungkin aku akan melamarmu. tidak. aku akan melamarmu. bukan mungkin melamarmu. lalu kita akan mempunyai rumah sederhana dan anak-anak yang sempurna. 


dan aku akan mengajak kalian liburan ke laut. lautan bintang yang luas.


memang, jarak antara aku dan lautan itu sangat jauh. tidak bisa dibayangkan. tapi nanti kita akan pergi bersama-sama. dengan anak-anak kita juga. 


mungkin kamu akan bingung dan bertanya kenapa aku berangan-angan seperti itu.


sederhana. Semesta ini terlalu luas jika aku harus berjalan sendiri saja.




-Jakarta, 8 Februari 2012-
05:35 pagi. sebelumnya dibuat di akun twitter saya (@luthfinggihmas) dengan hashtag #angkasa

Minggu, 15 Januari 2012

Angkasa Luas Namun Terlalu Sempit

Terbanglah menuju Matahari, anakku. bawa semua harapmu bersamamu. Dengan pesawat ulang-alik berwarna putih bersih dan aksen garis hitam yang menandakan kecepatan tiada tanding. Bukankah jarak bertekuk lutut di hadapanmu? harap dan egomu lebih tinggi lompatannya daripada tembok bernama "jarak" itu. Segala stratosfer, ionosfer, eksosfer, ah. semuanya hanyalah lembara kertas yang bisa dengan mudah kau tembus. Karena kau lebih tajam dari sinar Gamma. Lihatlah. Sebelum kau selesai menghitung mundur dari sepuluh kau sudah mencapai jalur orbit bulan. 

Sembilan, kau menyentuh sabuk asteroid antara Mars dan Jupiter.
Delapan, Uranus sudah berada di garis cakrawalamu, siap untuk dilewati.
Tujuh, apakah itu Pluto? sudah berapa tahun setelah dia dikeluarkan dari perkumpulan planet pengeliling Matahari?
Enam, selubung solar sudah hampir tidak kau rasakan. panas matahari tidak menjamah kulitmu.
Lima, kapal Voyager baru saja kau lewati. Di sana benar-benar ada komposisi dari Johann Sebastian Bach, entah simfoni nomor berapa.
Empat, kau harus bergeser beberapa parsec ke kiri agar tidak tersedot lubang hitam itu.
Tiga, bintang itu sudah mati menjadi kurcaci putih. beratnya beribu kali Matahari tapi ukurannya lebih kecil dari pesawatmu.
Dua, Quasar dan Nebula banyak berserakan. kau adalah entitas selain tuhan yang menyaksikannya.
Satu, saatnya kau beristirahat dalam kantung tidur temperatur rendah. hibernas manusia menuju semesta lainnya.
Nol.

Kau masih tertidur dalam kapsul tidurmu. Kapan kau akan keluar? Akankah kau mencapai bumi lainnya saat kau terbangun nanti? Atau mungkin akhirnya matamu terbuka saat kapalmu menubruk permukaan planet baru, dengan tanah dan airnya sendiri?

Ah, tidak penting juga aku bertanya-tanya seperti itu.


Begitu kau sampai dan membuka mata, aku akan melakukan hal yang biasa aku lakukan: Tersenyum dan mengucapkan beberapa kata.

Sederhana saja. Seperti "Selamat pagi, jagoanku. Boleh ibu tahu sudah sampai mana perjalanan angkasamu malam tadi?"




- diambil dari cerita dengan hashtag #langit yang diambil dari akun twitter pribadi saya. @luthfinggihmas -
Yogyakarta, 16 Januari 2012
Beberapa bulan sebelum "Kiamat"