Sabtu, 16 Juni 2012

Satu-Dua Paragraf Tentang Cinta

Aku menengadah menghadap langit, berharap ada tangan bercahaya terulur ke arahku. Lalu mungkin aku akan terbaring lemah di kasur yang berisi kapuk mati ini. Milikmu, ya, milikmu. Kasur ini milikmu. Kasur yang tidak berada dalam kungkungan empat sisi tembok dan eternit di atasnya, langsung berhadapan dengan langit. Di sekelilingku adalah hamparan pasir abu-kecoklatan yang motifnya - sedikit banyak - mirip dengan corak calico untuk bulu kucing. Hampar pasir ini pun milikmu, walau kamu tidak menyadarinya.

Langit yang kupandang kosong dari tadi juga polos. Hitam dengan titik-titik putih bintang yang sesekali muncul lalu meredup lalu mati, untuk selanjutnya muncul, meredup, dan mati di tempat lain. Tempat lain yang mungkin aku tidak melihatnya (atau tidak menyadari sehingga aku tidak melihatnya). Aku sudah beberapa jam termenung dalam posisi seperti ini. Tangan bercahaya yang kuharap akan datang, sehingga tungguku tidak sia-sia, belum juga datang. Belum sia-sia. Masih belum sia-sia. Tapi, aku bisa saja mendadak menyadari kalau tangan bercahaya yang kutunggu itu sebenarnya bersifat sama seperti bintang: bisa muncul, meredup, lalu menghilang. Tanpa aku melihatnya atau menyadarinya. Toh, itu bukan tanganmu, aku tidak tahu. Yang penting aku tetap mencintaimu walau aku menunggu tangan bercahaya terulur turun dari langit.

Karena "dia" tidak aku ketahui. Sedangkan kamu, aku mengetahuimu apa-adanya.


-Yogyakarta, 17 Juni 2012-
sekitar dua jam tiga puluh menit
lewat tengah malam

Tidak ada komentar: