Minggu, 15 Januari 2012

Angkasa Luas Namun Terlalu Sempit

Terbanglah menuju Matahari, anakku. bawa semua harapmu bersamamu. Dengan pesawat ulang-alik berwarna putih bersih dan aksen garis hitam yang menandakan kecepatan tiada tanding. Bukankah jarak bertekuk lutut di hadapanmu? harap dan egomu lebih tinggi lompatannya daripada tembok bernama "jarak" itu. Segala stratosfer, ionosfer, eksosfer, ah. semuanya hanyalah lembara kertas yang bisa dengan mudah kau tembus. Karena kau lebih tajam dari sinar Gamma. Lihatlah. Sebelum kau selesai menghitung mundur dari sepuluh kau sudah mencapai jalur orbit bulan. 

Sembilan, kau menyentuh sabuk asteroid antara Mars dan Jupiter.
Delapan, Uranus sudah berada di garis cakrawalamu, siap untuk dilewati.
Tujuh, apakah itu Pluto? sudah berapa tahun setelah dia dikeluarkan dari perkumpulan planet pengeliling Matahari?
Enam, selubung solar sudah hampir tidak kau rasakan. panas matahari tidak menjamah kulitmu.
Lima, kapal Voyager baru saja kau lewati. Di sana benar-benar ada komposisi dari Johann Sebastian Bach, entah simfoni nomor berapa.
Empat, kau harus bergeser beberapa parsec ke kiri agar tidak tersedot lubang hitam itu.
Tiga, bintang itu sudah mati menjadi kurcaci putih. beratnya beribu kali Matahari tapi ukurannya lebih kecil dari pesawatmu.
Dua, Quasar dan Nebula banyak berserakan. kau adalah entitas selain tuhan yang menyaksikannya.
Satu, saatnya kau beristirahat dalam kantung tidur temperatur rendah. hibernas manusia menuju semesta lainnya.
Nol.

Kau masih tertidur dalam kapsul tidurmu. Kapan kau akan keluar? Akankah kau mencapai bumi lainnya saat kau terbangun nanti? Atau mungkin akhirnya matamu terbuka saat kapalmu menubruk permukaan planet baru, dengan tanah dan airnya sendiri?

Ah, tidak penting juga aku bertanya-tanya seperti itu.


Begitu kau sampai dan membuka mata, aku akan melakukan hal yang biasa aku lakukan: Tersenyum dan mengucapkan beberapa kata.

Sederhana saja. Seperti "Selamat pagi, jagoanku. Boleh ibu tahu sudah sampai mana perjalanan angkasamu malam tadi?"




- diambil dari cerita dengan hashtag #langit yang diambil dari akun twitter pribadi saya. @luthfinggihmas -
Yogyakarta, 16 Januari 2012
Beberapa bulan sebelum "Kiamat"