Senin, 21 Februari 2011

The owl and the night sky with no clouds

Chirping sounds of the cicadas howling through the gusting wind. Cold and damp like bottom of a well. Here's the lonely owl, sitting in silence on a branch of a willow tree. There are so many branches on that tree but why do it sit on that branch, we'll never know. The cold wind don't affect the owl. Sitting still on that branch, eyes wide open.

Looking straight to the street lights afar.

Imagine if the owl wasn't there.

Not a problem for you, but it surely bugs the hell out of me.


Corat-coret Di Kaki Langit #3

Mungkin memang hidup itu sedikit membosankan. Kejenuhan bisa datang kapan saja. Tetapi tidak dengan waktu. Sang maha kuasa waktu terus berputar, terus berotasi lambat mengarungi hidup. Mengarungi dunia dan semesta yang semakin menjauh. Dia tetap angkuh berdiri walau diterjang badai progresifitas yang ganas dan liar. Mengapa? Mengapa waktu? Mengapa waktu yang tetap tegar berdiri? Dia adalah sesuatu yang abstrak. Sesuatu yang nonsens. Sesuatu yang imajinatif. Tetapi fakta berbicara bahwa dia-lah yang menjadi pemenang di akhir. Dia selalu tertawa paling belakang.

Dia membelenggu kita dengan memberi kita rasa aman yang halusinatif. Memainkan boneka tangan yang adalah kita semua. Manusia. Dia bukanlah alam. Dia bukanlah tuhan. Dia lebih jauh dari itu. Sebagaimana tidak ada penjelasan yang bisa menjabarkan mengapa matematika memakai angka-angka sebagai bahasanya, seperti itulah waktu bertakhta. Unquestionable, unstoppable. Dia ada di semua dimensi. Dia menyentuh segala hal.

Sang waktu jugalah yang membuat kita, manusia, menentang imposibiltas. Mengerahkan seluruh harta dan kuasa yang kita punya untuk melewati halangan abadi, sungguh, tidak ada kekuatan lain yang bisa menggantikan perannya dalam hal ini. Sekiranya tiadalah yang bisa menggantikan kedigdayaan waktu di atas jalur hidup kita. Namun mengapa kita masih sombong terhadapnya? Mengapa kita masih mencoba mengekangnya? tidak cukupkah kuasanya tergambar?

Itulah nasib dan takdir alang-alang di tengah padang. Garis tangan sebutir pasir di tengah gurun.

Mungkin ini adalah yang terpendek dari semua corat-coret di kaki langit, rangkaian esai pendek yang dibuat atas dasar keingintahuan. Tetapi semua ada alasannya. Waktu membuat kita seakan lupa akan tujuan akhir. Garis finish yang terpampang jelas di depan kita.

Rabu, 16 Februari 2011

Dan Langit Kembali Tertawa

Taring sang Tuhan menancap sangat dalam, merobek kulit tipis sang domba.
Dia bisa saja menjerit. Dia bisa saja kesakitan. Tetapi dia tidak melakukannya!
Saat penolakan terlihat seperti keagungan yang hakiki.
Rerumputan melawan kuasa angin, hari akhir terasa begitu dekat.

Hutan rimba melenguh puas mendengar berita bahagia tersebut.
Dia telah datang. Dia adalah sang penebus.
Mungkin kita semua akan bertanya-tanya. Tuhan tak lagi berjaya.
Domba lemah menjadi dewa, dan langit kembali tertawa.

Untuk Mereka Yang Merasa Besar

Dan mereka tetap bersorak. Mereka tetap berteriak. Mengelu-elukan dewa dunia nyata yang secara jelas dan benar terpampang di depan mereka. Ya, mereka adalah Tuhan di dunia baru ini.

Sekalinya mereka membuat kesalahan dan keonaran, hanyalah kebenaran yang tergambar dalam mata mereka. umat-umatnya. Saya hanyalah seorang pemerhati konflik yang tersenyum melihat itu semua.

Ini adalah pesan untuk mereka yang merasa besar. Mereka yang merasa benar dengan kebesaran mereka. Aksi besar kalian hanyalah pemancing senyuman untuk mereka yang bukan umat kalian. Berbahagialah jika kalian tidak mengetahuinya. Apa yang tidak kalian ketahui tidak akan menyakiti kalian.

Senin, 07 Februari 2011

Mencoreng Ramayana ( 7 Dari 13 )

Apa sebenarnya yang menjadi beban dunia? Mata mereka mulai bertanya
Terusik keindahan dan kesombongan surga
Merapatlah harap ke pelabuhan-pelabuhan maya
Merajut jalan dari bongkah batu karang besar kecil
Dunia tumpuan, jauh dari bisik lembut para dewa

Dan para punggawa langit tersentak padahal terkuak
Pada murka dunia, murka raja, murka jelata
Semua beradu tangkas, memeluk satu tiang tatal
Sampailah dunia pada jatuh tempo kewajibannya
Tanah darah, tanah berkah, tanah airnya

Mata mereka melihat seadanya

Sabtu, 05 Februari 2011

Mati Muda

Kurang lebih kita kebanyakan bersyukur
Melihat bumi penuh kotoran
Kurang lebih kita banyak berbahagia
Menghitung dunia sering terluka

Kapan kita mati muda?
Kapan kita bisa tertawa?