Jumat, 27 Juli 2012

Sore Mereka Ada Di Langit

Anak-Anak kecil bertarung sepanjang garis. Tak terlihat, ya, memang garisnya tak terlihat. Tarung dan kejar. Menarik lengan lawan, singsing lengan baju, selengkat sana selengkat sini, keras tanah merah tanpa hujan, gila. Lalu jerit sakit bercampur dengan semangat. Semua kompak: "Aku lebih dulu!" "Aku lebih pantas!" 


(mungkin) mereka terjerat dalam temali berkelindan persaingan. Masih sangat muda pula.

Yah, siapa yang mau kalah, bukan. Tidak ada yang mau tertinggal sendiri di dunia ini. Satu-Satu mereka berjatuhan dan keluar dari garis. Mengaduh, kasihan. Lutut mereka lecet-lecet. Beberapa malah berdarah. Ada yang menyesal bersamaan dengan tubuhnya terjerembab ke tanah: Kenapa? Beberapa lagi menjadi lelah. Mata berkaca dan bulir-bulir jatuhlah. Tangis. Menangisi karena apa yang ditangisi tidak lagi terlihat. Kasihan. Ayo cepat pulang.

Yang tersisa masih meronta. Yang bertahan masih bersaingan. Langit mejadi lembayung menandakan jarak yang mereka tempuh telah lebih jauh dari lapangan ke rumah mereka. Menuju kejayaan, menuju supremasi. Siapa yang giat dialah yang mendapat. Aku harus menang, mereka harus tumbang. Melewati beberapa rumah lagi tanpa sadar kaki mereka sudah gemetaran. Sayup terdengar seruan: "Hati-Hati tersandung." Ah, tidak peduli. Garis yang memandu mereka masih terlihat walaupun sesekali kabur. Itu tandanya mereka harus tetap berlari.

Mereka harus tetap menarik lengan satu sama lain. Menjegal langkah kaki lainnya. Sambil mungkin terus menatap ke depan. Masa muda milik mereka. Lebih dari sekedar layang-layang: Mereka mengejar cita-cita.


Yogyakarta, 28 Juli 2012
01.45 pagi. Teh Lemon Dingin
Diambil dari akun Twitter @luthfinggihmas
Judulnya di sana: Masa Muda Mereka Ada Di Langit  

Selasa, 24 Juli 2012

Jarak Dunia Kita Dalam Formula Matematis

Satu, satu, dua, tiga, lima, delapan, tiga belas, dua puluh satu, dan seterusnya, dan seterusnya. Angka selanjutnya dalam sekuens itu adalah hasil penjumlahan dua angka di belakangya. Jadi, urutan sekuens ke 100 adalah hasil penjumlahan dari urutan ke 98 dan 99. Begitu juga dengan urutan-urutan selanjutnya. 


Atau urutan sebelumnya.

Jika kita bayangkan bahwa urutan pertama adalah aku, apa yang ada di urutan ke lima? Aku, aku, kamu, kita, kita dan satu anak kita. Urutan kelima adalah kita dan satu anak kita. Apa yang ada di urutan ke seratus? Apakah akan menjadi seperti silsilah keturunan Adam dan Hawa? Mari kita coba sederhanakan menjadi sebuah formula matematis.

ika nomor urutnya adalah F dan urutan sekuensnya adalah x, Aku (F) ada di urutan pertama. Jadi Aku adalah F1. Kamu adalah F3, kita adalah F4, dan seterusnya. Kita coba cari F100 dari urutan sekuens tersebut. Sulit. Tidak bisa menjadi sederhana. Sulit, karena jarak antara urutan tersebut akan sama dengan jarak normal urutan sekuens awal: satu, satu, dua, tiga, seterusnya. Jadinya akan seperti lingkaran sempurnya. Terus berjalan sampai ketidak-terbatasan.

Nah, mari kita berpegangan tangan. Bayangkan bahwa panjang tangan kita yang berpegangan ini adalah diameter lingkaran tersebut.

Kita dekatkan diri kita. Semakin sempit. Panjang diameter berkurang. Tetap saja menjadi lingkaran.

Bahkan sampai kita cukup dekat untuk aku memelukmu. Tetap menjadi lingkaran.

Sampai tubuh kita bersentuhan, dan bibirku bisa menyapa bibirmu dengan ciuman. Tangan kita tetap menjadi diameter lingkaran. Sampai kita merasa tidak berjarak. Dari lingkaran yang terlihat sampai jadi titik.

Sekuensnya tidak berubah: Satu, satu, dua, tiga, lima, dan seterusnya. Aku, aku, kamu, kita, kita dan satu anak kita, dan seterusnya.

Radius diameter, seberapa jauh pun itu, dan seberapa rumit pun formula untuk menyederhanakannya, bukan poin utamanya. Asalkan kita berani memperkecil lingkaran sampai akhirnya menjadi titik, Formula jarak akan bisa sederhana.


Yogyakarta, 24 Juli 2012, 22:42 p.m.
diambil dari akun Twitter saya, @luthfinggihmas 
hashtag #cerita. Judul asli: "Dua Semesta Kita Dalam Sekuens Fibonacci"

    

Kamis, 19 Juli 2012

'Kadang' Mungkin Lebih Dari Sekedar Penunjuk Waktu

Kadang saya suka bingung sendiri dengan kemampuan menulis saya. Sesaat bagus, kemudian berantakan. Mau bagaimana lagi. Saya sedang belajar. Kamu pun pasti belajar. Mereka belajar. Kita juga belum selesai belajar.

Bingung itu kata serapan dari mana?


-yogyakarta, 19 Juli 2012-
Warung internet dan sepi

Rabu, 18 Juli 2012

Hari-Hari Menunggu Mati

Senin: Terikat pada rel kereta api. Menunggu mati dengan elegan dan berkelas. Kereta eksekutif dari Surabaya.

Selasa: Terikat pada sebatang kayu jati kualitas ekspor. Menunggu mati dengan mahal dan mewah. Jati Jepara.

Rabu: Terikat pada komitmen dengan supermodel. Menunggu mati dengan cantik dan glamor. Model majalah ternama.

Kamis: Terikat pada pembelajaran di Universitas terkemuka. Menunggu mati dengan cerdas dan bijaksana. Universitas nomor satu se-Indonesia.

Jum'at: Terikat pada jok mobil sport keluaran pabrikan Italia. Menunggu mati dengan cepat dan prestise. Mobil balap jalan raya.

Sabtu: Terikat pada kewajiban menghormati orang tua. Menunggu mati dengan hormat dan cinta. Orang Tua yang bahagia.

Minggu: Terikat pada tempat tidur lusuh di kamar tanpa cahaya. Menunggu mati dengan jujur dan terbuka. Tempat tidur kayu reyot sederhana.

Sekarang hari apa?

Sabtu, 07 Juli 2012

Dalam Tangis Ada Harapan Lewat Tangis

Dan Eliah beserta adiknya, Maria, secara seksama mendengarkan suara tuhan di tengah kekacauan yang sedang terjadi di kampungnya. "Kamu akan mengetahui bahwa aku adalah tuhan saat aku membalaskan dendam dengan tanganku kepadamu", mungkin dari injil Ezekiel, tapi Eliah lupa pasal dan ayat yang mana. Suara tuhan yang menggelegar, menghadirkan berbagai perasaan yang campur-aduk, berkumandang di telinga Eliah bersamaan dengan jeritan dan tangisan warga kampungnya yang berusaha melarikan diri dari kobaran api dan hujan misil. Menyatu dengan sangat lembut dengan darah dan potongan tubuh yang melayang malang-melintang di depan mata Eliah dan Maria.

Mereka adalah anak-anak yang tertinggal - atau ditinggalkan? - oleh takdir dan waktu. Menyaksikan dengan mata mereka sendiri bagaimana proyektil misil merobek tubuh ibunya sampai terpencar, cerai-burai tak karuan, adalah pemberian dari singgasana langit untuk mereka: anak-anak yang lahir dari rahim konflik dan kekerasan. Kesalahan mereka, sampai pada titik diberikan pemandangan yang brutal dan sadis tadi, bukanlah karena mereka telah menumpahkan darah orang-orang tak berdosa ataupun melakukan tindakan terorisme di negara-negara maju. Kesalahan mereka adalah dilahirkan di sebuah desa di lembah berbatu dekat celah Khaibar. Sebuah tempat di mana seteru negara dan dunia berkumpul. Sebuah tempat di mana negara-negara adidaya - yang katanya dirugikan oleh tindakan kekerasan dan terorisme - menempatkan jarinya untuk menunjuk "siapa yang salah" sambil menutup dua mata. Kesalahan yang cukup fatal sehingga mereka, sebagai anak-anak yang masih kecil dan dibolehkan menaruh harapan setinggi apapun yang mereka mau, dianggap layak untuk menyaksikan parade "darah dan potongan tubuh berceceran" dari singgasana langit, tempat mereka menengadahkan kepala untuk berdoa.

Eliah dan Maria selamat dari "anugerah" tersebut. Mereka bersembunyi di celah batu, sedikit di luar desa, sambil menyaksikan kengerian yang tersaji di depan mata mereka.

Tapi mereka tetap berdoa. Tetap menengadahkan kepala mereka ke arah langit. Tetap memohon kepada tuhan agar festival darah dan pembunuhan di depan mereka cepat berakhir.

Mungkin tanpa mengetahui bahwa apa yang merobek tubuh ibu mereka menjadi serpihan-serpihan daging kecil-kecil dan tidak teridentifikasi adalah dia yang menjadi tujuan doa mereka.

Ironis.


-Achmad Luthfi, 8 Juli 2012-
Siang hari dan bir dingin. Kekesalan, kemarahan, kepasrahan.
Yogyakarta (sedikit) utara