Dulu sempat ada yang mampir secara berkala ke warung kopi
ini. Satu-dua orang, mungkin tiga, entahlah. Aku tidak begitu ingat masa-masa
itu. Jarang sekali, walaupun tetap ada, mereka yang datang sendiri dan menyesap
kopi perlahan di dalam maupun teras luar. Semua tempat dan posisi adalah kursi
dan meja, tidak lebih. Asalkan mereka bisa duduk dan melakukan apapun yang
mereka mau dan pantas dilakukan (menurut mereka) di warung kopi ini, mereka
bebas duduk dan memilih tempat di warung kopiku. Ya, tempat ini terbuka untuk
siapa saja. Tua, muda, pria, wanita, robot, manusia, semuanya.
Sepanjang yang aku tahu, warung kopi ini tidak pernah
mengalami perubahan yang berarti. Semua masih sama: lantai parquet kayu, kursi-kursi kecil dan meja-meja bundar yang tidak
sama, lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk, tidak ada yang berubah. Ah,
sudah berapa tahun sejak aku membuka warung ini, sepuluh? Lebih. Sepertinya sudah
dua puluh tahun lebih aku duduk santai di belakang meja kasir sambil sesekali
menuang biji kopi ke mesin penggiling lalu memrosesnya di mesin pembuat kopi,
untuk selanjutnya dihidangkan panas di dalam gelas (yang entah mengapa
gelas-gelasku semuanya bermotif binatang. Sepertinya sudah tertanam dalam alam
subsadarku kalau aku menyukai binatang. Setidaknya
motifnya). Seingatku, selama aku melakukan proses penggilingan, pembuatan,
dan penyajian tersebut tempat ini tidak pernah berubah. Toh, ini warung kopi
milikku.
Kopi sudah menyatu dengan aliran darahku, sepertinya. Aku suka
aroma kopi yang menyeruak menembus hidungku. Segar, tidak berat. Entah itu kopi
instan atau biji kopi – yang menurutku – berkualitas tinggi dari perbukitan di
Temanggung, aku suka semuanya. Aku juga masih sedikit ingat tentang bagaimana
dulu aku suka memakan biji kopi setelah ayahku memanggangnya. Batch panggangan pertama adalah yang
paling enak menurutku. Oh, ya, beberapa pelangganku yang datang ke sini dengan
membawa serta anaknya juga mengatakan bahwa mereka sering memakan biji kopi
sewaktu mereka kecil. Aku bersyukur bahwa kesenangan yang hadir beserta gigitan
pada biji kopi tidak hanya untukku semata. Hal itu juga membuatku tidak merasa
menjadi orang aneh karena suka makan biji kopi.
Entah apa yang membuat orang-orang datang dan mampir ke warung
kopi ini. Letaknya agak jauh dari kota. Ya, kalau kita masih bisa menyebut itu
kota. Yogyakarta lebih mirip sebuah desa besar, menurutku. Jalan aspal yang
tidak begitu bagus dan retak di sana-sini serta beberapa puing-puing bangunan
di pinggir jalan. Dulu belum begitu banyak hal seperti itu. Rumput di sepanjang
jalan juga belum setinggi sekarang. Aku ingat dulu ibuku sering bercerita
tentang bagaimana dari teras rumah ini (yang sekarang adalah warung kopi) dia bisa
melihat gunung Merapi dengan jelas. Gunung Merapi tampak gagah dan kokoh
berdiri di atas awan, katanya. Ibu seringkali bercerita tentang bagaimana pucuk
Merapi begitu lancip menantang langit, dan menjadi tempat persemayaman
dewa-dewa. Sungguh tidak bisa dipercaya kalau gundukan tanah dan batu yang
lebih menyerupai mangkuk itu dulunya tajam dan jumawa menggapai surga.
Kemarin, dua orang datang ke warung kopi ini. Mereka adalah
sepasang suami istri yang tampaknya berumur lebih dari paruh baya. Sang suami
datang dari wilayah barat, jauh dari seberang selat Purwokerto, kalau tidak
salah. Istrinya berasal tidak jauh dari Yogyakarta, hanya sedikit ke timur. Dekat
dengan pantai Jebres, katanya. Mereka memesan kopi Lintong dan seingatku dua
gelas kopi itu habis sangat lama. Mereka duduk dan sesekali mengobrol untuk
selanjutnya menatap ke arah perbukitan Merapi di utara. Sempat terselip
beberapa tawa di antara obrolan mereka. Aku samar-samar mendengar tentang
bagaimana keadaan sekarang telah berbeda dengan waktu keemasan mereka dulu,
bagaimana Jawa sudah semakin sepi, bagaimana mereka menggambar
karakter-karakter binatang di atas tisu dan kertas menu (yang mana
gambar-gambar itu kusimpan di laci mejaku), bagaimana mereka suka duduk menatap
luar jendela dan menikmati angin semilir menyapa wajah mereka. Dua orang itu
tampak begitu menikmati waktu mereka di sini. Mereka tampak sangat mengerti dan
menghargai nilai setiap detik yang berlalu di warung kopi ini. Aku pun sangat
menikmati setiap detik waktu yang berjalan saat itu. Percakapan dan
tatapan-tatapan mereka yang santai dan sederhana membuatku berpikir sejenak dan
bersyukur: menjadi dewasa sepertinya tidak begitu buruk, apalagi jika ditambah
beberapa gelas kopi dan obrolan santai, karena waktu tidak akan berhenti untuk
menyapa walau sekejap pun.
Ah, aku harus mengoreksi kata-kataku di awal tadi. Warung
kopi ini lebih dari sekedar susunan kursi-kursi dan meja-meja untuk menikmati
kopi. Warung kopi ini adalah prasasti waktu penuh makna, setidaknya bagiku dan
sepasang suami-istri yang datang kemarin.
-Yogyakarta, 19 Juni 2012-
02.25 pagi. Warung 24 jam
Ingat kucing biru dan ibunya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar