Senin, 18 Juni 2012

Secangkir Kopi di Utara Yogyakarta


Dulu sempat ada yang mampir secara berkala ke warung kopi ini. Satu-dua orang, mungkin tiga, entahlah. Aku tidak begitu ingat masa-masa itu. Jarang sekali, walaupun tetap ada, mereka yang datang sendiri dan menyesap kopi perlahan di dalam maupun teras luar. Semua tempat dan posisi adalah kursi dan meja, tidak lebih. Asalkan mereka bisa duduk dan melakukan apapun yang mereka mau dan pantas dilakukan (menurut mereka) di warung kopi ini, mereka bebas duduk dan memilih tempat di warung kopiku. Ya, tempat ini terbuka untuk siapa saja. Tua, muda, pria, wanita, robot, manusia, semuanya.

Sepanjang yang aku tahu, warung kopi ini tidak pernah mengalami perubahan yang berarti. Semua masih sama: lantai parquet kayu, kursi-kursi kecil dan meja-meja bundar yang tidak sama, lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk, tidak ada yang berubah. Ah, sudah berapa tahun sejak aku membuka warung ini, sepuluh? Lebih. Sepertinya sudah dua puluh tahun lebih aku duduk santai di belakang meja kasir sambil sesekali menuang biji kopi ke mesin penggiling lalu memrosesnya di mesin pembuat kopi, untuk selanjutnya dihidangkan panas di dalam gelas (yang entah mengapa gelas-gelasku semuanya bermotif binatang. Sepertinya sudah tertanam dalam alam subsadarku kalau aku menyukai binatang. Setidaknya motifnya). Seingatku, selama aku melakukan proses penggilingan, pembuatan, dan penyajian tersebut tempat ini tidak pernah berubah. Toh, ini warung kopi milikku.

Kopi sudah menyatu dengan aliran darahku, sepertinya. Aku suka aroma kopi yang menyeruak menembus hidungku. Segar, tidak berat. Entah itu kopi instan atau biji kopi – yang menurutku – berkualitas tinggi dari perbukitan di Temanggung, aku suka semuanya. Aku juga masih sedikit ingat tentang bagaimana dulu aku suka memakan biji kopi setelah ayahku memanggangnya. Batch panggangan pertama adalah yang paling enak menurutku. Oh, ya, beberapa pelangganku yang datang ke sini dengan membawa serta anaknya juga mengatakan bahwa mereka sering memakan biji kopi sewaktu mereka kecil. Aku bersyukur bahwa kesenangan yang hadir beserta gigitan pada biji kopi tidak hanya untukku semata. Hal itu juga membuatku tidak merasa menjadi orang aneh karena suka makan biji kopi.

Entah apa yang membuat orang-orang datang dan mampir ke warung kopi ini. Letaknya agak jauh dari kota. Ya, kalau kita masih bisa menyebut itu kota. Yogyakarta lebih mirip sebuah desa besar, menurutku. Jalan aspal yang tidak begitu bagus dan retak di sana-sini serta beberapa puing-puing bangunan di pinggir jalan. Dulu belum begitu banyak hal seperti itu. Rumput di sepanjang jalan juga belum setinggi sekarang. Aku ingat dulu ibuku sering bercerita tentang bagaimana dari teras rumah ini (yang sekarang adalah warung kopi) dia bisa melihat gunung Merapi dengan jelas. Gunung Merapi tampak gagah dan kokoh berdiri di atas awan, katanya. Ibu seringkali bercerita tentang bagaimana pucuk Merapi begitu lancip menantang langit, dan menjadi tempat persemayaman dewa-dewa. Sungguh tidak bisa dipercaya kalau gundukan tanah dan batu yang lebih menyerupai mangkuk itu dulunya tajam dan jumawa menggapai surga. 

Kemarin, dua orang datang ke warung kopi ini. Mereka adalah sepasang suami istri yang tampaknya berumur lebih dari paruh baya. Sang suami datang dari wilayah barat, jauh dari seberang selat Purwokerto, kalau tidak salah. Istrinya berasal tidak jauh dari Yogyakarta, hanya sedikit ke timur. Dekat dengan pantai Jebres, katanya. Mereka memesan kopi Lintong dan seingatku dua gelas kopi itu habis sangat lama. Mereka duduk dan sesekali mengobrol untuk selanjutnya menatap ke arah perbukitan Merapi di utara. Sempat terselip beberapa tawa di antara obrolan mereka. Aku samar-samar mendengar tentang bagaimana keadaan sekarang telah berbeda dengan waktu keemasan mereka dulu, bagaimana Jawa sudah semakin sepi, bagaimana mereka menggambar karakter-karakter binatang di atas tisu dan kertas menu (yang mana gambar-gambar itu kusimpan di laci mejaku), bagaimana mereka suka duduk menatap luar jendela dan menikmati angin semilir menyapa wajah mereka. Dua orang itu tampak begitu menikmati waktu mereka di sini. Mereka tampak sangat mengerti dan menghargai nilai setiap detik yang berlalu di warung kopi ini. Aku pun sangat menikmati setiap detik waktu yang berjalan saat itu. Percakapan dan tatapan-tatapan mereka yang santai dan sederhana membuatku berpikir sejenak dan bersyukur: menjadi dewasa sepertinya tidak begitu buruk, apalagi jika ditambah beberapa gelas kopi dan obrolan santai, karena waktu tidak akan berhenti untuk menyapa walau sekejap pun. 

Ah, aku harus mengoreksi kata-kataku di awal tadi. Warung kopi ini lebih dari sekedar susunan kursi-kursi dan meja-meja untuk menikmati kopi. Warung kopi ini adalah prasasti waktu penuh makna, setidaknya bagiku dan sepasang suami-istri yang datang kemarin.


-Yogyakarta, 19 Juni 2012-
02.25 pagi. Warung 24 jam
Ingat kucing biru dan ibunya

Tidak ada komentar: