Dan Eliah beserta adiknya, Maria, secara seksama mendengarkan suara tuhan di tengah kekacauan yang sedang terjadi di kampungnya. "Kamu akan mengetahui bahwa aku adalah tuhan saat aku membalaskan dendam dengan tanganku kepadamu", mungkin dari injil Ezekiel, tapi Eliah lupa pasal dan ayat yang mana. Suara tuhan yang menggelegar, menghadirkan berbagai perasaan yang campur-aduk, berkumandang di telinga Eliah bersamaan dengan jeritan dan tangisan warga kampungnya yang berusaha melarikan diri dari kobaran api dan hujan misil. Menyatu dengan sangat lembut dengan darah dan potongan tubuh yang melayang malang-melintang di depan mata Eliah dan Maria.
Mereka adalah anak-anak yang tertinggal - atau ditinggalkan? - oleh takdir dan waktu. Menyaksikan dengan mata mereka sendiri bagaimana proyektil misil merobek tubuh ibunya sampai terpencar, cerai-burai tak karuan, adalah pemberian dari singgasana langit untuk mereka: anak-anak yang lahir dari rahim konflik dan kekerasan. Kesalahan mereka, sampai pada titik diberikan pemandangan yang brutal dan sadis tadi, bukanlah karena mereka telah menumpahkan darah orang-orang tak berdosa ataupun melakukan tindakan terorisme di negara-negara maju. Kesalahan mereka adalah dilahirkan di sebuah desa di lembah berbatu dekat celah Khaibar. Sebuah tempat di mana seteru negara dan dunia berkumpul. Sebuah tempat di mana negara-negara adidaya - yang katanya dirugikan oleh tindakan kekerasan dan terorisme - menempatkan jarinya untuk menunjuk "siapa yang salah" sambil menutup dua mata. Kesalahan yang cukup fatal sehingga mereka, sebagai anak-anak yang masih kecil dan dibolehkan menaruh harapan setinggi apapun yang mereka mau, dianggap layak untuk menyaksikan parade "darah dan potongan tubuh berceceran" dari singgasana langit, tempat mereka menengadahkan kepala untuk berdoa.
Eliah dan Maria selamat dari "anugerah" tersebut. Mereka bersembunyi di celah batu, sedikit di luar desa, sambil menyaksikan kengerian yang tersaji di depan mata mereka.
Tapi mereka tetap berdoa. Tetap menengadahkan kepala mereka ke arah langit. Tetap memohon kepada tuhan agar festival darah dan pembunuhan di depan mereka cepat berakhir.
Mungkin tanpa mengetahui bahwa apa yang merobek tubuh ibu mereka menjadi serpihan-serpihan daging kecil-kecil dan tidak teridentifikasi adalah dia yang menjadi tujuan doa mereka.
Ironis.
-Achmad Luthfi, 8 Juli 2012-
Siang hari dan bir dingin. Kekesalan, kemarahan, kepasrahan.
Yogyakarta (sedikit) utara
Sabtu, 07 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar