Minggu, 20 November 2011

Malu

"adakah yang ingin berlayar lagi?" tanya sang ayah kepada dua anaknya yang baru saja mendengarkan ceritanya dengan diam dan mata terbelalak. ingin tahu dan senang, juga penasaran. bukanlah terbelalak karena ketakutan atau terkejut. bagaimana mereka bisa terkejut dan ketakutan kalau yang diceritakan adalah sebuah petualangan seru ke dunia khayal yang tidak terjangkau oleh lima indera mereka? ayah mereka memang seorang yang istimewa. apa yang diceritakannya selalu bernafas dan bergerak di depan mata dua anaknya. berbisik lalu berteriak untuk lubang telinganya. mengelus lembut lalu sesekali menampar kulit muda mereka. semuanya ada dan semuanya nyata, lagi tidak terjangkau. benar-benar ajaib.

sang ayah hanya bercerita tentang seorang yang berlayar meninggalkan rumahnya untuk mencari pengalaman. berbekal nasi kepal dan air putih secukupnya. rakitnya pun hanya dari beberapa batang kayu yang disusun asal-asalan, lebih mirip ikatan kayu bakar daripada rakit sederhana. tapi toh itu bisa mengapung. setidaknya membawanya selangkah menuju dunia yang lebih luas. selangkah menuju keberadaan yang lebih sempit.

berlayar dan berlayar, semakin jauh dari daratan menuju daratan lain yang semakin mendekat. rakitnya masih bertahan dan semakin kuat seiring dengan ombak yang setia menghajarnya. beberapa monster laut: naga, ikan, leviathan, cumi-cumi raksasa sampai gorilla setengah ular beberapa kali menghalangi pelayarannya. namun dengan kekuatan dan keteguhan dia bisa menghadapinya. segalanya menjadi catatan manis keberhasilan dalam perjalanan. semakin dekatlah dia dengan tanah tujuannya. tanah emas dan masa muda abadi.

sampai akhirnya dia sampai di tanah emas itu. segalanya berkilau sampai ujung cakrawala. emas tanpa akhir. masa muda tanpa akhir.

di mana sang ayah sedang berada di ambang perceraian.

lalu sang ayah menangis.

"dia seharusnya malu"


Yogyakarta, 21 November 2011
1.59 pagi
tanpa rokok dan teh dingin
semua senang

Tidak ada komentar: