Aku bersandar pada sedikit sandaran berbusa yang (tadinya) tebal. Punggungku terasa seperti sudah berjalan lebih dari 479 kilometer tanpa berhenti, paling tidak untuk mengisi ulang bahan bakar atau membeli minuman energi. Patah? Mungkin akan, tapi tidak sekarang. Mungkin. Sekarang aku masih prima, sehat, hanya sedikit nyeri dan pegal pangkal punggung. Lumbago, ah, itulah nama penyakitnya. aku ingat telah membaca mengenainya di koran berbau otomotif yang waktu itu teronggok lusuh di kamar temanku.
Setelah ini, setelah bersandar, aku menyalakan televisi. Mudah-Mudahan ada acara yang bagus.
Rupanya tidak ada. Aku terus mengganti saluran televisi sampai aku merasa acaranya cocok dan pas untuk dinikmati dengan santai. Kopi? Ide yang bagus. Aku jalan ke dapur dulu. Kopinya di rak nomor berapa? Perasaanku, terakhir kali aku menaruhnya adalah di rak nomor dua dari kanan, dekat dengan piring dan sendok. Pasti di situ.
Rupanya tidak ada! Aduh, bagaimana ini? Adanya hanya beberapa kantung teh bulat teronggok. Masih ada air panas kah? Masih ada rupanya. Tuang dulu saja, setelah itu aku celupkan di cangkir bergambar beruang madu dan gentong madunya, gelas kesayanganku. Hmm, siapa nama beruang itu? Yang aku ingat hanyalah anak manusia yang menjadi teman si beruang dan teman-temannya. Christopher, ya. Oh, ya, tehnya sudah lumayan pekat. Aku lebih suka yang tanpa gula.
Lanjut mencari acara televisi yang bagus sepertinya oke.
Ah, ya, sudah sore rupanya.
Sayang sekali tidak ada acara televisi yang bagus.
Kalau ada, perpisahanku akan sempurna. Ah, kenapa grafik penanda detak jantung ini tidak kunjung menjadi garis? Aku ingin cepat kembali. Siapa tahu, di sana nanti aku bisa duduk santai mengistirahatkan pangkal punggungku, sambil menonton televisi yang acaranya bagus semua.
Semoga saja di sana kopiku benar ada di rak kedua dari kanan, dekat dengan piring dan sendok.
-Yogyakarta, 21 Juni 2012-
22.12 malam, teh hangat,
warung 24 jam
Kamis, 21 Juni 2012
Senin, 18 Juni 2012
Secangkir Kopi di Utara Yogyakarta
Dulu sempat ada yang mampir secara berkala ke warung kopi
ini. Satu-dua orang, mungkin tiga, entahlah. Aku tidak begitu ingat masa-masa
itu. Jarang sekali, walaupun tetap ada, mereka yang datang sendiri dan menyesap
kopi perlahan di dalam maupun teras luar. Semua tempat dan posisi adalah kursi
dan meja, tidak lebih. Asalkan mereka bisa duduk dan melakukan apapun yang
mereka mau dan pantas dilakukan (menurut mereka) di warung kopi ini, mereka
bebas duduk dan memilih tempat di warung kopiku. Ya, tempat ini terbuka untuk
siapa saja. Tua, muda, pria, wanita, robot, manusia, semuanya.
Sepanjang yang aku tahu, warung kopi ini tidak pernah
mengalami perubahan yang berarti. Semua masih sama: lantai parquet kayu, kursi-kursi kecil dan meja-meja bundar yang tidak
sama, lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk, tidak ada yang berubah. Ah,
sudah berapa tahun sejak aku membuka warung ini, sepuluh? Lebih. Sepertinya sudah
dua puluh tahun lebih aku duduk santai di belakang meja kasir sambil sesekali
menuang biji kopi ke mesin penggiling lalu memrosesnya di mesin pembuat kopi,
untuk selanjutnya dihidangkan panas di dalam gelas (yang entah mengapa
gelas-gelasku semuanya bermotif binatang. Sepertinya sudah tertanam dalam alam
subsadarku kalau aku menyukai binatang. Setidaknya
motifnya). Seingatku, selama aku melakukan proses penggilingan, pembuatan,
dan penyajian tersebut tempat ini tidak pernah berubah. Toh, ini warung kopi
milikku.
Kopi sudah menyatu dengan aliran darahku, sepertinya. Aku suka
aroma kopi yang menyeruak menembus hidungku. Segar, tidak berat. Entah itu kopi
instan atau biji kopi – yang menurutku – berkualitas tinggi dari perbukitan di
Temanggung, aku suka semuanya. Aku juga masih sedikit ingat tentang bagaimana
dulu aku suka memakan biji kopi setelah ayahku memanggangnya. Batch panggangan pertama adalah yang
paling enak menurutku. Oh, ya, beberapa pelangganku yang datang ke sini dengan
membawa serta anaknya juga mengatakan bahwa mereka sering memakan biji kopi
sewaktu mereka kecil. Aku bersyukur bahwa kesenangan yang hadir beserta gigitan
pada biji kopi tidak hanya untukku semata. Hal itu juga membuatku tidak merasa
menjadi orang aneh karena suka makan biji kopi.
Entah apa yang membuat orang-orang datang dan mampir ke warung
kopi ini. Letaknya agak jauh dari kota. Ya, kalau kita masih bisa menyebut itu
kota. Yogyakarta lebih mirip sebuah desa besar, menurutku. Jalan aspal yang
tidak begitu bagus dan retak di sana-sini serta beberapa puing-puing bangunan
di pinggir jalan. Dulu belum begitu banyak hal seperti itu. Rumput di sepanjang
jalan juga belum setinggi sekarang. Aku ingat dulu ibuku sering bercerita
tentang bagaimana dari teras rumah ini (yang sekarang adalah warung kopi) dia bisa
melihat gunung Merapi dengan jelas. Gunung Merapi tampak gagah dan kokoh
berdiri di atas awan, katanya. Ibu seringkali bercerita tentang bagaimana pucuk
Merapi begitu lancip menantang langit, dan menjadi tempat persemayaman
dewa-dewa. Sungguh tidak bisa dipercaya kalau gundukan tanah dan batu yang
lebih menyerupai mangkuk itu dulunya tajam dan jumawa menggapai surga.
Kemarin, dua orang datang ke warung kopi ini. Mereka adalah
sepasang suami istri yang tampaknya berumur lebih dari paruh baya. Sang suami
datang dari wilayah barat, jauh dari seberang selat Purwokerto, kalau tidak
salah. Istrinya berasal tidak jauh dari Yogyakarta, hanya sedikit ke timur. Dekat
dengan pantai Jebres, katanya. Mereka memesan kopi Lintong dan seingatku dua
gelas kopi itu habis sangat lama. Mereka duduk dan sesekali mengobrol untuk
selanjutnya menatap ke arah perbukitan Merapi di utara. Sempat terselip
beberapa tawa di antara obrolan mereka. Aku samar-samar mendengar tentang
bagaimana keadaan sekarang telah berbeda dengan waktu keemasan mereka dulu,
bagaimana Jawa sudah semakin sepi, bagaimana mereka menggambar
karakter-karakter binatang di atas tisu dan kertas menu (yang mana
gambar-gambar itu kusimpan di laci mejaku), bagaimana mereka suka duduk menatap
luar jendela dan menikmati angin semilir menyapa wajah mereka. Dua orang itu
tampak begitu menikmati waktu mereka di sini. Mereka tampak sangat mengerti dan
menghargai nilai setiap detik yang berlalu di warung kopi ini. Aku pun sangat
menikmati setiap detik waktu yang berjalan saat itu. Percakapan dan
tatapan-tatapan mereka yang santai dan sederhana membuatku berpikir sejenak dan
bersyukur: menjadi dewasa sepertinya tidak begitu buruk, apalagi jika ditambah
beberapa gelas kopi dan obrolan santai, karena waktu tidak akan berhenti untuk
menyapa walau sekejap pun.
Ah, aku harus mengoreksi kata-kataku di awal tadi. Warung
kopi ini lebih dari sekedar susunan kursi-kursi dan meja-meja untuk menikmati
kopi. Warung kopi ini adalah prasasti waktu penuh makna, setidaknya bagiku dan
sepasang suami-istri yang datang kemarin.
-Yogyakarta, 19 Juni 2012-
02.25 pagi. Warung 24 jam
Ingat kucing biru dan ibunya
Sabtu, 16 Juni 2012
Satu-Dua Paragraf Tentang Cinta
Aku menengadah menghadap langit, berharap ada tangan bercahaya terulur ke arahku. Lalu mungkin aku akan terbaring lemah di kasur yang berisi kapuk mati ini. Milikmu, ya, milikmu. Kasur ini milikmu. Kasur yang tidak berada dalam kungkungan empat sisi tembok dan eternit di atasnya, langsung berhadapan dengan langit. Di sekelilingku adalah hamparan pasir abu-kecoklatan yang motifnya - sedikit banyak - mirip dengan corak calico untuk bulu kucing. Hampar pasir ini pun milikmu, walau kamu tidak menyadarinya.
Langit yang kupandang kosong dari tadi juga polos. Hitam dengan titik-titik putih bintang yang sesekali muncul lalu meredup lalu mati, untuk selanjutnya muncul, meredup, dan mati di tempat lain. Tempat lain yang mungkin aku tidak melihatnya (atau tidak menyadari sehingga aku tidak melihatnya). Aku sudah beberapa jam termenung dalam posisi seperti ini. Tangan bercahaya yang kuharap akan datang, sehingga tungguku tidak sia-sia, belum juga datang. Belum sia-sia. Masih belum sia-sia. Tapi, aku bisa saja mendadak menyadari kalau tangan bercahaya yang kutunggu itu sebenarnya bersifat sama seperti bintang: bisa muncul, meredup, lalu menghilang. Tanpa aku melihatnya atau menyadarinya. Toh, itu bukan tanganmu, aku tidak tahu. Yang penting aku tetap mencintaimu walau aku menunggu tangan bercahaya terulur turun dari langit.
Karena "dia" tidak aku ketahui. Sedangkan kamu, aku mengetahuimu apa-adanya.
-Yogyakarta, 17 Juni 2012-
sekitar dua jam tiga puluh menit
lewat tengah malam
Langit yang kupandang kosong dari tadi juga polos. Hitam dengan titik-titik putih bintang yang sesekali muncul lalu meredup lalu mati, untuk selanjutnya muncul, meredup, dan mati di tempat lain. Tempat lain yang mungkin aku tidak melihatnya (atau tidak menyadari sehingga aku tidak melihatnya). Aku sudah beberapa jam termenung dalam posisi seperti ini. Tangan bercahaya yang kuharap akan datang, sehingga tungguku tidak sia-sia, belum juga datang. Belum sia-sia. Masih belum sia-sia. Tapi, aku bisa saja mendadak menyadari kalau tangan bercahaya yang kutunggu itu sebenarnya bersifat sama seperti bintang: bisa muncul, meredup, lalu menghilang. Tanpa aku melihatnya atau menyadarinya. Toh, itu bukan tanganmu, aku tidak tahu. Yang penting aku tetap mencintaimu walau aku menunggu tangan bercahaya terulur turun dari langit.
Karena "dia" tidak aku ketahui. Sedangkan kamu, aku mengetahuimu apa-adanya.
-Yogyakarta, 17 Juni 2012-
sekitar dua jam tiga puluh menit
lewat tengah malam
Jumat, 15 Juni 2012
Merry Christmas, Freak
The night is high and we can barely feel our toe because of the cold
Our clothes, oh our trousers and coats, can't hold the chill. Oh, the chill
It's Christmas time. This cold European soil is drenched in snow.
Yes, we can hear the tingling sound of Christmas carols from the other side of the wall
Let me ease the cold for you, to help you pull through
With the way that only i know how, to dance and raise your eyebrow
To sing and chant and frolic in my coat and trouser. To heat your every sense
I'll be on the smaller stage at the freak show. To make everybody happy and probably laugh
And to make everybody forget about the exhaustion and coldness of Christmas
Yes, i'll be on the smaller tent in your freak show
-16th of June, 2012-
After Midnight
Rabu, 13 Juni 2012
Ibu Bersumpah
Kamu meninggalkan jejak di karpet dunia tanpa sempat berkeluh dulu, lalu hilang. Ke mana?
Berjalanlah kamu di atas karpet dunia. Karpetku. Mati pun kelak kau di situ
Untuk tanganmu yang telah berlumur darah, merah, saudaramu. Kau akan berjalan selamanya.
Ayahmu. Ayahmu. Ibumu, yang sengaja-tidak sengaja merelakan rahimnya untuk kau huni sembilan bulan sepuluh hari.
Dan saudaramu juga, sembilan bulan sepuluh hari.
Kamu tinggalkan dia di dalam tanah merah. Mungkin kering karena sapuan anginku. Tapi masih berbau
Kelak kamu akan menyusul beristirahat di dalam tanah merahku, di bawah karpetku. Mungkin sebagai pengganti rahim ibumu. ibumu.
Lalu hilang. Mati satu tumbuh tak terbatas.
Untuk pembunuhan selanjutnya, untuk pengembalian selanjutnya
Dari rahimku lahir ibumu, ayahmu. Dari rahimnya lahir kamu. Kembalilah, setelah kamu lelah meninggalkan jejak langkah
Karena itu sumpahku sebagai Ibu.
-Yogyakarta, 14 Juni 2012-
03.45 a.m.
Rindu
Berjalanlah kamu di atas karpet dunia. Karpetku. Mati pun kelak kau di situ
Untuk tanganmu yang telah berlumur darah, merah, saudaramu. Kau akan berjalan selamanya.
Ayahmu. Ayahmu. Ibumu, yang sengaja-tidak sengaja merelakan rahimnya untuk kau huni sembilan bulan sepuluh hari.
Dan saudaramu juga, sembilan bulan sepuluh hari.
Kamu tinggalkan dia di dalam tanah merah. Mungkin kering karena sapuan anginku. Tapi masih berbau
Kelak kamu akan menyusul beristirahat di dalam tanah merahku, di bawah karpetku. Mungkin sebagai pengganti rahim ibumu. ibumu.
Lalu hilang. Mati satu tumbuh tak terbatas.
Untuk pembunuhan selanjutnya, untuk pengembalian selanjutnya
Dari rahimku lahir ibumu, ayahmu. Dari rahimnya lahir kamu. Kembalilah, setelah kamu lelah meninggalkan jejak langkah
Karena itu sumpahku sebagai Ibu.
-Yogyakarta, 14 Juni 2012-
03.45 a.m.
Rindu
Langganan:
Postingan (Atom)