Senin, 02 Juni 2014

BAB I - SHINTA, JANGAN MENOLEH KE BELAKANG KECUALI UNTUK MENGENANG HASRATMU


KECUALI LAKSMANA, yang hanya sempat, dan mungkin memang hanya bisa, memandang tanah, memandang kulit Ibu Pertiwi. Mengalihkan berahi yang hanya dibatasi secarik-dua carik kain tersaji di depannya. Memilih untuk berlama-lama membangun nafsu lewat kulit bergerigi penuh lumut dan tanah. Memang, mungkin sejelek-jeleknya ibu, seseorang akan tetap terbangun syahwatnya jika berbalas tatap mata. Hal yang akan diutarakan oleh seorang pemikir berkulit pucat hantu dari tanah biru, ribuan tahun dari sini.

KECUALI JATAYU, yang tenggelam dalam persepsinya yang (walaupun sebenarnya sangat Aku sukai) kuno dan klise tentang kepahlawanan. Fisik adu fisik. Bertarung dengan berisik, walau akhirnya terpuruk ditinggal kehidupan. Sayang, badannya sangat kuat padahal. Kekar dengan segala kualitas terbaik yang ditawarkan untuk mencapai kenikmatan duniawi. Akhirnya redup dan hilang tanpa pernah bercinta. Mencinta. Sia-sia saja jika kadaluarsa. Tidak ada yang kuat iman untuk bersetubuh dengan mayat, bahkan untuk mereka yang senang memimpikan itu sekalipun.

DAN TERAKHIR, KECUALI RAMA, yang sudah susah payah kubangun cinta – badan dan pikiran – untuknya. Sekali dua kali sempat kureguk dan memang Rama tidak pernah membuatku kecewa. Seribu tahun pun aku rela menunggu dan membusuk dalam rumah tanpa pintu dan jendela yang dia tinggalkan, yang dia titipkan, untuk kembali menumpas dahagaku akan cinta, keringat, dan waktu. Mengingat waktu-waktu ketika kami menjadi satu dalam daging dan darah, jarum jahit dan benang merah, kecup dan desah, selalu membuatku merinding. Seperti mendengarkan kembara melantunkan tembang jindra tentang Siwa dan Kali. Seperti menyesap kopi dalam selimut angin pagi. Ah, Rama. Raden Ramawijaya. Satu bab dari rangkaian buku tak berujung tentang Sang Wisnu yang bisa dipegang, disentuh, dipuja, dijamah, dicintai, dinikmati, oleh semua orang. Tapi tidak. Rama adalah lembar-lembar dalam buku suci Wisnu yang akan dengan senang hati kusobek dan kusimpan dalam-dalam di lemari busanaku. Terlipat rapi dalam lindungan sutra ungu dan batik sakral. Hanya memikirkannya saja sudah membuat perutku mual karena ketidaksabaran. Seperti sekarang. Ribuan, bahkan jutaan, hasta memisahkan segumpal cinta dan berahiku yang mengeras dengan palu gadanya. Satu-satunya yang bisa memecahkan itu semua.

Tidak ada komentar: