Bayangkan jika dunia adalah papan tulis besar bernoda bekas hapusan kapur yang tak sempurna.
Mata-Mata yang memandang ke segala arah adalah titik-titik.
Jaringan titik abstrak yang nantinya membentuk pola, mungkin kalimat, mungkin persamaan, mungkin rumus yang pelik.
Tak lebih dari papan tulis besar bernoda bekas hapusan kapur yang tak sempurna, namun bertatahkan matematika.
Sekarang, aku adalah "X" di tengah-tengah rumus aljabar yang setengah jalan, menuju baris lain dari tak terhitung baris.
Cari aku di antara angka, deret angka, kuadrat, pangkat empat, pangkat lima, terus diulang sampai kapurmu habis.
Yang nantinya tidak terhapus dengan sempurna. Menjadi noda. Di antara pola.
-Yogyakarta, 18 Agustus 2012-
Warung kopi 24 jam
Jumat, 17 Agustus 2012
Senin, 06 Agustus 2012
Logika dan Logaritma X Terhadap Rumus Dunia
Waktu itu hari Senin. Sekitar pertengahan bulan Agustus yang terasa lebih panas dari bulan-bulan lainnya. Panas adalah kondisi udara yang terasa menusuk kulit dan menibulkan ketidaknyamanan, khususnya bagi X. Temperatur tinggi dan angin menggebu membuat X melakukan hal yang hanya bisa dilakukan saat tidak bisa melakukan apa-apa: duduk di bangku taman dan terbengong melihat orang-orang yang lewat di sekitarnya. Taman itu berhawa malas. Cocok sekali dengan panas yang dibawa cuaca. Tidak begitu banyak orang di situ. Mungkin hanya beberapa pasangan tua yang berjalan pelan melewati ayunan dan jungkat-jungkit yang juga tua. Berderak sama dengan tua? Mungkin. Sendi-Sendi pasangan tua yang melintas itu juga sudah berderak menyapa era. Mungkin sekedar memberi salam pada masa mereka yang sudah lewat. Satu hal yang menimbulkan perasaan gamang adalah absennya anak kecil di taman itu. Hari senin memang penuh kekosongan. Malas. Panas. Hanya beberapa sendi-sendi tua yang melintas. X juga tua. Masa jayanya juga sudah harus disapa dengan derak sendi-sendi lewat paruh baya.
X memegang secarik kertas berhias banyak coretan dan tulisan tangan. Tulisan tangannya sendiri, tepatnya. Hanya angka-angka yang tersebar acak di permukaannya. 3, 1, 4, 1, 5, 6, 3, 7, 8, 5, banyak. Terlalu acak dan tanpa pola. Anomali yang sekali lagi muncul di hari yang Senin dan panas ini: tidak berpola. Siapapun tahu dan paham kalau semua yang ada di dunia ini berpola. Dari batu karang setengah terkikis di pantai berbukit Dover sampai burung gereja yang terkadang mengejek pemerintah kota seraya membuang kotoran di patung pahlawan perang di tengah taman kota. Pola bisa saja terlihat dengan mata telanjang, bisa juga didengar dengan seksama. Apapun yang bisa diterima dengan indera pasti mempunyai pola. Kita saja sebagai manusia kadang terlalu sombong untuk mencoleknya pelan di bahu. Senin, panas, dan Agustus juga mempunyai pola walaupun terasa samar seperti perasaan si patung yang dijatuhi bom organik burung gereja. X memegang secarik kertas berhias banyak coretan dan tulisan tangan. Tak berpola. Angka acak. Memang aneh hawa panas dan malas ini: mereka bisa mempengaruhi seseorang untuk keluar dari hukum alam yang adalah pola.
Matematikawan memerlukan angka untuk hidup layaknya seekor burung mencari tikus dan serangga untuk memuaskan saluran pencernaannya. Matematika adalah ilmu tentang ketuhanan karena yang dicari adalah hakikat dan makna dari segala yang diciptakan tuhan. Matematika berusaha mencari pola tuhan lewat angka. Tuhan itu angka, ya. Mungkin tuhan itu angka. Atau pola angka. Atau sebuah formula angka yang bisa melakukan dan menciptakan apa saja. X adalah seorang matematikawan. Dia membutuhkan angka untuk hidup. Dia, sebelum dia duduk di bangku taman dan terhanyut dalam hawa malas dan panas hari Senin pertengahan Agustus ini, berjibaku dengan angka dan formula. Mencari tuhan, katanya. Galaksi Bimasakti sampai cangkang siput sampai rasio emas memiliki unsur ketuhanan. X masih mencari tuhan. Segala penemuan dan jejak yang akan membawanya semakin mendekati tuhan dicatat dan diingat lewat coretan dan tulisan yang akhirnya menumpuk secara fisik di rak-rak buku di kamar apartemennya maupun secara nirfisik di kumpulan dokumen-dokumen data biner dalam cakram keras komputernya. Fisik maupun nirfisik, mereka adalah nutrisi bagi X untuk hidup. Untuk selalu berkutat dan mengejar ekor tuhan.
X ada di taman. Duduk diam di bangku taman menghadap beberapa ayunan dan jungkat-jungkit sambil memegang secarik kertas berisi angka acak tanpa pola. Tanpa sadar dia menolak tuhan. Dia menolak tuhan dan sifat ketuhanannya yang paling nyata: maha berpola. Apa yang ditulisnya bukan sekuens Fibonacci. Bukan angka di belakang desimal dari bilangan Pi. Bukan perhitungan rasio emas dari persegi empat banding tiga. Lelah dan malas terkena panas, itulah dia. Meninggalkan sejenak apa yang menjadi tujuan dan kebutuhannya. Melupakan sebentar apa yang mendorongnya dari belakang. X duduk dengan mata terpaku kosong ke depannya. Di dunia yang senantiasa berputar menurut pola. Di tengah pohon-pohon yang memiliki pola dalam setiap pembagian lokasi tangkainya. Di bangku kayu tua yang desainnya yang sederhana berawal dari atas kertas yang bergambar pola. X ada di taman di hari Senin yang panas di pertengahan bulan Agustus. Senin yang adalah titik awal dari rotasi hari kerja. Agustus yang adalah masa akhir dari musim panas dalam sistem kuartal empat musim. X ada di dalam pola. X adalah bagian dari pola. Namun, dia berada di atas kertas berpola tersebut.
Dia melayang di atas pola. Berjarak dari pola.
X sedang menjadi awam. Menjadi tuhan di dunia tanpa pola.
Yogyakarta, 7 Agustus 2012
Warung 24 jam. Baru lewat tengah malam
Tersihir matematika
X memegang secarik kertas berhias banyak coretan dan tulisan tangan. Tulisan tangannya sendiri, tepatnya. Hanya angka-angka yang tersebar acak di permukaannya. 3, 1, 4, 1, 5, 6, 3, 7, 8, 5, banyak. Terlalu acak dan tanpa pola. Anomali yang sekali lagi muncul di hari yang Senin dan panas ini: tidak berpola. Siapapun tahu dan paham kalau semua yang ada di dunia ini berpola. Dari batu karang setengah terkikis di pantai berbukit Dover sampai burung gereja yang terkadang mengejek pemerintah kota seraya membuang kotoran di patung pahlawan perang di tengah taman kota. Pola bisa saja terlihat dengan mata telanjang, bisa juga didengar dengan seksama. Apapun yang bisa diterima dengan indera pasti mempunyai pola. Kita saja sebagai manusia kadang terlalu sombong untuk mencoleknya pelan di bahu. Senin, panas, dan Agustus juga mempunyai pola walaupun terasa samar seperti perasaan si patung yang dijatuhi bom organik burung gereja. X memegang secarik kertas berhias banyak coretan dan tulisan tangan. Tak berpola. Angka acak. Memang aneh hawa panas dan malas ini: mereka bisa mempengaruhi seseorang untuk keluar dari hukum alam yang adalah pola.
Matematikawan memerlukan angka untuk hidup layaknya seekor burung mencari tikus dan serangga untuk memuaskan saluran pencernaannya. Matematika adalah ilmu tentang ketuhanan karena yang dicari adalah hakikat dan makna dari segala yang diciptakan tuhan. Matematika berusaha mencari pola tuhan lewat angka. Tuhan itu angka, ya. Mungkin tuhan itu angka. Atau pola angka. Atau sebuah formula angka yang bisa melakukan dan menciptakan apa saja. X adalah seorang matematikawan. Dia membutuhkan angka untuk hidup. Dia, sebelum dia duduk di bangku taman dan terhanyut dalam hawa malas dan panas hari Senin pertengahan Agustus ini, berjibaku dengan angka dan formula. Mencari tuhan, katanya. Galaksi Bimasakti sampai cangkang siput sampai rasio emas memiliki unsur ketuhanan. X masih mencari tuhan. Segala penemuan dan jejak yang akan membawanya semakin mendekati tuhan dicatat dan diingat lewat coretan dan tulisan yang akhirnya menumpuk secara fisik di rak-rak buku di kamar apartemennya maupun secara nirfisik di kumpulan dokumen-dokumen data biner dalam cakram keras komputernya. Fisik maupun nirfisik, mereka adalah nutrisi bagi X untuk hidup. Untuk selalu berkutat dan mengejar ekor tuhan.
X ada di taman. Duduk diam di bangku taman menghadap beberapa ayunan dan jungkat-jungkit sambil memegang secarik kertas berisi angka acak tanpa pola. Tanpa sadar dia menolak tuhan. Dia menolak tuhan dan sifat ketuhanannya yang paling nyata: maha berpola. Apa yang ditulisnya bukan sekuens Fibonacci. Bukan angka di belakang desimal dari bilangan Pi. Bukan perhitungan rasio emas dari persegi empat banding tiga. Lelah dan malas terkena panas, itulah dia. Meninggalkan sejenak apa yang menjadi tujuan dan kebutuhannya. Melupakan sebentar apa yang mendorongnya dari belakang. X duduk dengan mata terpaku kosong ke depannya. Di dunia yang senantiasa berputar menurut pola. Di tengah pohon-pohon yang memiliki pola dalam setiap pembagian lokasi tangkainya. Di bangku kayu tua yang desainnya yang sederhana berawal dari atas kertas yang bergambar pola. X ada di taman di hari Senin yang panas di pertengahan bulan Agustus. Senin yang adalah titik awal dari rotasi hari kerja. Agustus yang adalah masa akhir dari musim panas dalam sistem kuartal empat musim. X ada di dalam pola. X adalah bagian dari pola. Namun, dia berada di atas kertas berpola tersebut.
Dia melayang di atas pola. Berjarak dari pola.
X sedang menjadi awam. Menjadi tuhan di dunia tanpa pola.
Yogyakarta, 7 Agustus 2012
Warung 24 jam. Baru lewat tengah malam
Tersihir matematika
Langganan:
Postingan (Atom)