"Mohon Tidak Membuang Sampah Di Area Taman"
lalu ibu yang sedang merokok itu berdecak tidak puas. dia harus berjalan sedikit lebih jauh rupanya.
rumah sakit ini memang begitu. semuanya diatur dan semuanya teratur.
berapa jauh lagi sampai tempat sampah jingga itu? sepuluh meter? lima belas?
abu rokoknya sudah panjang namun belum jatuh. tangannya diposisikan horizontal.
ibu itu berdecak sekali lagi. matanya jengkel luar biasa.
akhirnya dia memutuskan untuk mendekati tempat sampah jingga itu. hanya dua belas meter dari tempat dia berdiri tadi rupanya.
plung, dibuanglah puntung rokoknya. hanya rokok putih biasa. tanpa cengkih dan rempah lain. khas - katanya - Amerika.
sang ibu segera mengeluarkan batang lainnya dari bungkus merah putih, tergesa.
sepertinya dia tidak akan beranjak. waktunya lebih berharga daripada berjalan membuang puntung rokok.
pemantiknya klasik dari perak. terukir juga tanggal pernikahannya. 24 Desember 1974.
bunyi "kling" terdengar lirih saat dia membuka tutup pemantiknya. sumbu tak kunjung menyala.
ibu itu berdecak lagi. rokoknya sudah menggantung di bibirnya. gabus penyaringnya pun sudah setengah basah. api? belum ada.
ada beberapa kali pengulangan. ibu jari kanannya sudah sedikit menghitam karena abu dan arang. belum juga tersulut rokoknya.
sampai akhirnya muncullah sang api. wajah ibu itu terlihat puas.
belum selesai hisapan pertama, pintu bangsal terbuka. perhatiannya teralihkan oleh sosok pria yang melangkah ke luar.
sang ibu sejenak tertegun. lalu rokok yang masih panjang itu dimatikan di tempat sampah jingga.
langkahnya menjauh seiring dengan bara api yang perlahan padam.
"bagaimana?" tanyanya. suaranya sedikit tertahan.
"kanker. sudah menjalar rupanya" jawab pria yang baru keluar dari bangsal.
sang ibu menghela napas. menunduk. lalu dia menengadah, kembali menatap sang pria tepat pada matanya. tersenyum simpul.
"ayo pulang. aku sudah meminta Sulastri memasakkan ayam goreng mentega kesukaanmu. Johan juga sebentar lagi pulang" ujar sang ibu.
digandenglah tangan sang pria. lalu mereka berjalan menuju parkiran. langkah mereka pelan dan penuh keraguan.
langkah mereka terhenti sebentar di samping tempat sampah jingga. sang ibu merogoh kantong celananya. bungkus rokoknya masih ada.
bungkus rokok yang masih berat itu dikeluarkan dari kantongnya lalu dimasukkan ke tempat sampah jingga itu.
dan mereka meneruskan langkah mereka. tempat parkir mobil lebih terasa jauhnya daripada siang tadi.
sebelumnya sudah diposkan di akun twitter saya, @luthfinggihmas, dengan hashtag #jalan
2 maret 2012 lalu
Selasa, 06 Maret 2012
Sabtu, 03 Maret 2012
Kopi Pak Kumis Masih Hangat
"kopi, kopi, teh hangat, jahe wangi", begitulah bapak berkumis itu berseru.
sambil terus berjalan gontai, menghindari tubuh-tubuh yang malang-melintang diserang lelah.
sesekali harap muncul di sinar matanya. "kopi pak?" sambil menyodorkan bungkus kopi lokal yang menggantung di termosnya.
ah, rupanya hanya bertemu pandang. tidak berujung uang. bapak berkumis itu menghela napas. lalu kembali menyusur gerbong.
gerbong berikutnya bertepatan dengan stasiun Purwokerto. mendadak saja cemas merangkak ke air muka sang bapak berkumis.
perhentian berarti pergantian. akan ada lagi legiun baru kopi panas dan jahe wangi yang naik ke rangkaian gerbong.
langkah sang bapak berkumis semakin cepat. "kopi panas, teh hangat jahe wangi..." seruannya mengeras seadanya.
gerbong berikutnya. bapak berkumis berpapasan dengan pemuda berbaju band lokal. sama rata dengan termos dan kopi.
bapak berkumis mengangguk pelan dan tersenyum. namun sepertinya si pemuda berbaju band lokal tersebut tidak menyambutnya.
saling lewat tanpa sapa, terjadi begitu saja. pemuda ke gerbong tiga, bapak berkumis ke gerbong satu.
mereka sudah semakin jauh. suara sang pemuda masih terdengar, walaupun sayup, di tengah riuh-rendah suasana.
pita suara dikalahkan usia? mungkin. yang jelas bapak berkumis merasa yang menang adalah suasana.
klakson kereta sudah berbunyi nyaring. saatnya bapak berkumis turun dari singgasana. napas kembali terhela.
"kopinya pak. yang hangat-hangat" seruan terakhir dikeluarkan dengan sisa semangat. ah, tetap tidak terbalaskan.
mungkin memang hari ini bapak berkumis harus mengalah. dia lalu turun pelan-pelan dari gerbong.
"piye?" sambut temannya dengan tanya. sesama penjaja kopi juga rupanya. tapi yang ini tidak berkumis.
bapak berkumis hanya tersenyum. di belakangnya sang ular besi sudah mulai merangkak lagi menuju yogyakarta.
"sesuk luwih akeh sing tuku" jawab bapak berkumis kepada temannya yang tidak berkumis.
lalu mereka tertawa pelan namun ikhlas. tawa mereka terdengar manis di tengah hiruk-pikuk stasiun Purwokerto pagi itu.
yogyakarta, 1 Maret 2012
sebelumnya diposkan di twitter dengan akun @luthfinggihmas
hashtag #kereta
Langganan:
Postingan (Atom)