*****
Jam tanganku berdetak sedikit lebih cepat dari jantungku. Setidaknya itulah yang aku rasakan. Sekarang jam dua pagi lebih tujuh menit waktu Jawa Tengah. Waktu baru berlalu 17 menit sejak terakhir kali aku menengok jam tanganku. Seluruh duniaku seakan berputar di sekitar jam tanganku itu. Sebuah jam tangan logam. Usang. Stainless steel, water resistant 10 ATM, Swiss made, entah apa lagi yang tertulis di jam itu. Hanya sebuah jam tangan biasa. Bahkan aku yakin ada lebih dari 20 orang yang memakai jam yang sama denganku dalam kereta ini. Tetapi seberapa umum dan biasa jam ini, perhatianku tidak bisa berlari jauh darinya. Dialah satu-satunya hiburanku. Beberapa kali pikiranku berbisik seperti itu.
Bicara tentang hiburan, sebenarnya banyak sekali hal yang bisa kujadikan hiburan –setidaknya kusaksikan sebagai hiburan – di kereta ini. Penjual kopi sachet dan mie gelas sudah ratusan kali berlalu-lalang melewati kursiku (nomor 20 E, gerbong 4. Entah mengapa aku mengingatnya). Petugas kereta juga sudah menghampiriku dua kali. Melubangi karcis yang sudah lusuh. Aku dulu pernah berharap ingin menjadi petugas kereta hanya karena melubangi karcis terlihat amat sangat keren dan digdaya. Dengan memakai seragam PJKA (Perusahaan Jaringan Kereta Api – red) dan topi yang serupa dengan topi aparat yang setia melindungi dan melayani, aku merasa seperti membawahi ribuan jiwa yang berada dalam kereta. Mimpi itu berhenti setelah kenyataan bahwa harus bolak-balik berkeliling 10 gerbong setiap hari selama hidupku menamparku dengan sangat keras. Yah, tetapi memori masa kecil dan budak ekonomi modern tetap tidak bisa menjadi hiburan untukku. Yang terperangkap dalam ular besi pembelah tanah Jawa.
Kembali kepada jam tanganku tadi. Ah, ada apa sebenarnya dengan jam tanganku ini sehingga dia bisa menjadi satu-satunya temanku dalam perjalanan? Bentuknya tidak lebih menarik dari telepon seluler yang ada dalam kantongku. Tetap saja aku merasa kehilangan ketika jam itu tidak terlihat (saat kereta memasuki terowongan dan saat lampu dalam gerbong tiba-tiba mati). Aku merasa kesal setiap kali suara detaknya tidak terdengar (saat ada kereta lain bersinggungan). Aku merasa sedikit marah karena perhatianku tidak bisa lepas dari jam tangan tersebut. Hina sekali, seperti pikiranku berkali-kali terkekeh mengejek. Apakah manusia serendah itu sampai pikirannya bisa terpusat pada suatu hal yang tidak penting? Kamu bisa berpikir lebih dari itu, Luthfi! Bangsat. Bahkan pikiranku sendiri berani mengejekku. Dia yang hanya ada dalam kepala dan menjadi bagian diriku, subordinat dari keberadaanku, bahkan mengolok-olok keadaanku. Tapi apa daya? Aku tidak bisa mengingkari bahwa jam tanganku menjadi pusat hidupku dalam perjalanan ini.
*****
Perlahan aku kembali mengangkat tangan kiriku. Sekarang jam empat pagi. Aku masih belum bisa mengalihkan perhatian dari jam laknat itu rupanya. Waktu baru berlalu 53 menit sejak terakhir kali aku melihat jam itu. Sekarang aku sudah sampai di Purwokerto. Speaker di stasiun berceloteh tentang sebuah kereta eksekutif dari Jakarta yang akan melewati stasiun ini. Ini berarti keretaku harus menunggu sekitar 15 menit sebelum diberangkatkan kembali. Yah, sudahlah. Aku kembali menikmati waktu. Pedagang-pedagang berhamburan keluar dari kereta, hanya untuk digantikan dengan pedagang-pedagang baru yang mengantri di luar kereta. Aku melihat sejenak ke arah wajah-wajah di sekitarku. Hampir semua orang tertidur lelap. Sebuah hal yang amat membuatku iri. Mengapa aku tidak pernah bisa tertidur dalam perjalanan? Hal ini lumayan menggangguku. Dengan ketidak-mampuanku untuk menyambut alam mimpi di tengah gonjang-ganjing kereta kusadari sebagai salah satu alasan mengapa aku selalu melihat jam tanganku. Namun itu hanya salah satu. Hanya alasan pendukung. Akupun menyadari bahwa alasan sebenarnya aku selalu melihat jam tanganku ketika melakukan perjalanan dengan kereta malam bukanlah karena aku tidak bisa tertidur. Aku selalu bisa membalas kekurangan tidurku saat aku tiba di tujuan.
Angin malam Purwokerto menyapa melalui jendela kecil yang terbuka di atas kaca gerbong. Tercium sedikit bau tanah yang belum lama terkena hujan – bau petrichor, begitulah bahasa ilmiahnya – dalam hembusan angin tersebut. Bau ini sedikit membangkitkan moodku, mengingat bahwa bau ini adalah bau yang paling kusuka selain bau bensin dan pembersih toilet di rumah. Sejenak aku merasakan ketenangan. Aku berdiri sebentar untuk meluruskan tubuh yang sudah berjam-jam dalam possi duduk. Posisi yang sama dengan patung The Thinker. Bedanya dengan patung tersebut mungkin hanya dalam hasilnya. Jika patung The Thinker menggambarkan orang yang sedang berfilsafat maka aku hanya tampak seperti orang yang bingung. Tentu saja. Jika tokoh yang dijadikan acuan untuk patung tersebut ada di era sekarang, pastilah posisi duduk tersebut menggambarkan kebingungan. Sama seperti yang kurasakan sekarang.
*****
Langit sudah menguning saat aku melihat jam tanganku lagi. Sekarang sudah jam tujuh pas. Sudah tiga jam berlalu sejak terakhir aku melihat jam tanganku. Wajah-wajah disekitarku juga sudah berbeda ekspresinya. Beberapa dari mereka nampak tegang karena sebentar lagi kereta ini akan sampai pada tujuannya, sedangkan yang lain ada yang terlihat sangat bodoh dan polos karena mereka baru saja keluar dari dunia mimpinya. Aku tersenyum simpul – bahkan mungkin terlihat sedikit penasaran – melihat ekspresi mereka yang baru bangun dari tidurnya. Mencoba menebak-nebak apa yang ada dalam mimpi mereka hingga mereka mengeluarkan ekspresi seperti itu. Ah, rasa ingin tahu benar-benar sesuatu yang misterius. Dia bisa membuat hal yang biasa menjadi luar biasa. Aku sendiri pun seharusnya juga mempersiapkan barang-barangku. Stasiun tujuanku juga sebentar lagi akan tersaji di depanku. Namun aku menahan keinginan itu. Memperhatikan rupanya lebih menarik perhatianku.
Aku sudah mencium aroma-aroma perkotaan. Pemandangan di luar pun telah berganti. Semakin banyak bangunan yang kulihat di luar. Sangat berbeda dengan beberapa jam lalu ketika kereta masih melewati hamparan sawah. Setidaknya pemandangannya lebih bervariasi ketimbang tadi. Beberapa menit yang lalu sekelompok pengamen sedikit mewarnai perjalananku. Mereka hanya bertiga – satu gitaris, satu violinis dan satu pemain djembe – namun kemampuan dan kekompakan mereka sedikit membuatku terhenyak. Mereka bernyanyi dengan sangat harmonis. Pembawaan mereka yang sopan juga membuatku tersenyum. Sudah sangat sedikit pengamen seperti mereka. Yang mengedepankan musik dibanding penderitaan dan kehidupan jalanan yang keras. Mengingat pengamen tersebut ternyata menyenangkan. Beberapa kali aku menggumamkan irama dan melodi dari lagu-lagu yang mereka bawakan tadi sambil melihat waktu yang disiarkan oleh jam tanganku.
*****
Aku merasakan kembali tanah Yogyakarta. Jam tanganku menunjuk angka setengah delapan. Yogyakarta masih seperti saat aku meninggalkan kota ini lima hari yang lalu. Masih padat oleh pelajar-pelajar yang berpacu dengan bel masuk sekolah mereka. Terdengar sayup-sayup para supir taksi menjajakan pelayanan mereka di tengah keramaian pintu keluar stasiun ini. Matahari sekarang telah mengeluarkan segala usaha terbaiknya untuk menyinari dunia. Dan matahari jelas sekali sedang berfokus pada pulau Jawa hari ini. Sekali lagi aku melihat jam tanganku. Masih ada waktu untuk mencari sarapan sebelum ke kampus. Aku lalu melangkahkan kaki menjauh dari stasiun. Sudah sangat lama semenjak aku berjalan kaki di tengah kota seperti ini. Biarlah aku sedikit menghirup polusi udara ini. Sudah sepuluh jam lebih aku menghirup udara segar.
Irama jalanan mengiringi langkahku menuju utara Yogyakarta. Selama perjalanan tek henti-hentinya aku menengok jam tanganku. Aku tak tahu sebenarnya apa yang mengejarku. Aku tak tahu apa yang membuatku terus melihat jamku. Apakah aku takut akan terlambat ke kampus? Tidak juga. Acara di kampus masih sekitar empat jam lagi. Aku bahkan masih bisa berjalan bolak-balik kampus-stasiun dua kali dengan sisa waktu seperti itu. Ini benar-benar mengasyikkan. Perasaanku telah berubah terhadap kecenderunganku melihat jam tanganku. Dari kekesalan dan kebingungan menjadi penasaran. Dan di tengah penasaranku itu aku tetap melihat jam tanganku secara berkala.
*****
Sebentar lagi aku akan sampai kos. Warung makan di samping kosku pun sudah terlihat. Beberapa wajah yang kukenal sudah terlihat lalu-lalang di jalan ini. Kakiku mulai terasa pegal setelah berjalan beberapa kilometer di pagi hari ini. Namun pegal ini adalah pegal yang menyenangkan. Aku sudah dekat dengan rumahku. Entah sudah berapa lama aku berjalan. Hal yang aneh bukan? Aku tidak tahu sejak kapan aku tidak lagi melihat jam tanganku. Akhirnya aku menyadari apa yang membuatku selalu melihat jam tangan selama perjalanan tadi. Aku rindu rumahku. Rumah keduaku. Dan waktu yang berlalu menandakan berapa lama rumahku menunggu kedatanganku.
*****
Aku telah berada di kos sekarang. Jam tanganku sudah kuletakkan di samping kasur.
Selamat datang kembali, Luthfi.
- terinspirasi oleh teman saya, yaitu Logika Tanpa Cela, saya akhirnya memeras pikiran untuk membuat cerpen lagi. silakan dinikmati, dipahami, dicoba nilai, dikomentari, maupun dipuji dan dicaci-maki. perhatian anda adalah emas dan respon anda adalah berlian. terima kasih :) -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar