Jumat, 25 September 2009

Seekor Anjing

Lama saya membaca buku itu. Saya sudah membaca buku itu berpuluh-puluh kali tetapi tidak pernah bosan. Naik turun berbelok kiri kanan jungkir balik terpental. Saya kehilangan kata-kata untuk mendeskripsikan buku itu. Halaman 280 telah lewat dan kini saya memasuki chapter 15 dan alam bawah sadar mulai membayangkan kejadian di dalam bagian tersebut. Yang saya ingat -dan tidak mungkin akan terlupa- bagian tersebut menceritakan tentang bagaimana si pemeran utama menghadapi seekor anjing yang mengerikan. Anjing tersebut bisa mengendalikan pikirannya dan akhirnya membawa si pemeran utama menjadi seorang yang mentally ill pada akhir chapter. Tetapi sebenarnya anjing tersebut adalah halusinasi si pemeran utama tadi. Perwujudan dari paranoia yang menghantui semenjak kejadian yang menghancurkan hidupnya.

Si anjing berkata kepada pemeran utama bahwa segala usahanya untuk melupakan dan menghilangkan memori dan data akan pasangan hidupnya itu adalah sia-sia. Bahwa apapun yang sudah terbakar di neraka tidak akan bisa mendengar bahkan doa yang paling tulus dari anak kecil yang paling polos sekalipun. Apalagi si pemeran utama disini adalah seorang residivis yang melakukan kejahatan gila. kemungkinannya adalah 0%. Kegagalan mutlak. Skizofrenia yang telah berhasil disingkirkannya kembali merangkak naik ke permukaan. Paranoia merasuk kedalam sendi-sendi tulang, manghambat daya gerak. Rasa mual seakan-akan menerjang seperti tsunami. Dia jatuh. Dia hilang. Hilang di dalam labirin yang tanpa sengaja dia buat sendiri.

Anjing itu tersenyum. Tertawa. Berguling-guling di tanah menahan rasa geli. Dilihatnya sang pemeran utama menjerit kesakitan dan menggeliat menahan badai pikiran yang masuk ke otak. lalu tiba-tiba semua terdiam. Sang pemeran utama mulai berdiri perlahan-lahan dari lantai dan mulai berjalan menuju beranda. Angin berhembus sangat kencang di lantai dua puluh apartemen itu. Berjalan dengan langkah gontai, menabrak meja menyenggol kursi. Dia tidak merasa apa apa. Pagar pembatas telah masuk dalam jangkauan tangan dan dia melepas satu pandangan terakhir akan kota itu. Barisan lampu neon dan gerakan lampu kendaraan sejenak terasa menenangkan. Dia mencapai tingkat spriritualitas tertinggi dalam hidupnya. Satu kaki naik, dua kaki naik, akhirnya berdiri di ujung pagar. Entah kenapa senyumnya terasa sangat menyakitkan. Badan mulai condong ke depan. Keseimbangan mulai goyah. Tawa si anjing tetap membahana di langit malam. Sejenak sang pemeran utama menoleh ke belakang. Anjing itu telah menghilang sama sekali. Yang ada hanya mantan istrinya. Dari matanya mengalir darah segar dan senyum mengejeknya terasa sangat manis. Kamar telah menghilang digantikan Padang pasir luas tanpa batas.

Tiba-tiba saya merasa bosan. Aneh. Baru kali ini saya merasa bosan saat membaca buku ini. Akhirnya saya memutuskan untuk menutup buku ini dan berjalan ke beranda. Angin malam sungguh menenangkan. Suara berdesir saling adu cepat memasuki telinga. Kedamaian yang tak akan bisa diceritakan dengan kata-kata menghampiri saya. Saya mencondongkan diri ke depan. Saya mulai merasakan tarikan gravitasi bumi menunjukkan kekuatannya. Saya menoleh ke belakang dengan penuh harap dan ya, dia masih duduk disana. Matanya masih mengalirkan darah segar. Senyumnya masih terlihat menyebalkan walau saya sebenarnya menyukai senyum itu.

Angin malam ini benar-benar menyejukkan.

Tidak ada komentar: