Melawan kantuk untuk melihat senja. Ya, dia memang mempunyai pendirian yang kuat sejak dia kecil. Apa yang diinginkan pasti terlaksana walaupun kadang membutuhkan waktu yang lama. Sama seperti hari ini. Mengabaikan pejaman mata pada malam berikutnya karena rupanya pendar layar komputer jinjing memaksa matanya untuk berasyik-masyuk, bercumbu rayu sampai lintas dua belas malam. Sekarang? Tubuhnya sudah lemas, hanya bersandar di sofa kulit hijau muda. Komputer jinjing masih terbuka di meja kopi di depannya.
Senja mungkin adalah sesuatu yang sangat berharga untuknya. Dia, yang sehari-harinya harus membelah aspal menuju rutinitas, harus membaca berlembar-lembar jurnal dan artikel, harus menyusur buku dengan pena, harus membayar gairah dengan lelah, mungkin menemukan damai dan kekuatan dari senja. Senja sendiri baginya tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata: mengapa senja bisa begitu menarik dirinya? Apa yang membuat senja begitu kuat sampai dia bisa mengabaikan rasa lelahnya? Mungkin karena senja itulah yang menyambutnya di rumah. Lembayung jingga beradu birunya cakrawala itulah yang setia menyapanya setelah berjam-jam dia membelah aspal, berlembar-lembar dia membaca, beribu-ribu kata ditulisnya.
Leher lelah menengok ke jam tangan di pergelangan kirinya. Sekarang sudah pukul enam kurang lima belas menit. Sebentar lagi dia akan datang menyapa, pikirnya. Beranjaklah dia, pelan, menuju pekarangan rumahnya. Tangan kanannya memegang cangkir kopi yang isinya bergoyang seraya langkahnya berangsur gontai. Beberapa tetes telah jatuh ke lantai. Nanti saja aku membersihkannya, pikirnya. Langkahnya yang semakin cepat mengusir kepeduliannya akan beberapa titik noda kopi yang jatuh itu. Makin lama makin jauh, jauh, semakin jauh.
Hap, duduklah dia di ayunan kecil di pekarangan. Tangan kanannya masih memegang gelas kopi dengan sedikit bergetar. Ayunan itu rupanya mempersulit untuk mendapatkan pijakan yang stabil dan pasti. Yah, apa daya tidak ada meja, Menahan sebentar pun tidak terasa. Setelah dirasa goyangannya melemah, dia menatap lurus ke arah barat di batas cakrawala. Hari ini cerah seperti biasanya di tengah tahun ini. Semburat jingga mulai nampak di pantulan kacamatanya. Makin lama makin kuat, makin dekat, makin intim, sampai akhirnya sang bola jingga muncul dengan gagah dan sempurna, bersanding di singgasanya yang adalah gradasi lemah biru langit khas enam sore.
"Selamat sore juga, senja. Terima kasih masih menungguku di rumah" bisiknya lirih.
Senyumnya lemah, tapi ikhlas dan apa-adanya.
-Yogyakarta, 18 April 2012-
Tepat Tengah malam dan kopi
Selasa, 17 April 2012
Kamis, 05 April 2012
Tanganmu, Wahai Dewi Kali
Genggamlah, anak-anakku. Genggam tangan ibumu ini, Sang Dewi Kali. Dewi waktu. Dewi yang bisa menginjak siwa dalam tariannya.
Genggamlah, anak-anakku. Genggam tangan ibumu ini, Sang Dewi Kali. Sang Kalaratri, Sang Malam yang hitam dan kelam.
Genggamlah, anak-anakku. Genggam tangan ibumu ini, Sang Dewi Kali. Dewi Kematian. Pemegang akhir sang iblis Raktabija.
Genggamlah, anak-anakku. Genggam tangan ibumu ini, Sang Dewi Kali. Dewi Akhir. Aku yang dipanggil oleh Durga karena ketidak-mampuannya.
Genggamlah, anak-anakku. Genggam tangan ibumu ini, Sang Dewi Kali. Sang Kalaratri, Sang Malam yang hitam dan kelam.
Genggamlah, anak-anakku. Genggam tangan ibumu ini, Sang Dewi Kali. Dewi Kematian. Pemegang akhir sang iblis Raktabija.
Genggamlah, anak-anakku. Genggam tangan ibumu ini, Sang Dewi Kali. Dewi Akhir. Aku yang dipanggil oleh Durga karena ketidak-mampuannya.
Langganan:
Postingan (Atom)