Selain itu, tidak pernah ada kata. Meluncur sebagian pun tidak pernah.
Lain kesempatan, beberapa anggota khalayak tempat Luthfi berasyik-masyuk dengan buku juga bertanya tentang komunisme dan liberalisme. Lagi-Lagi Luthfi kikir akan kata. Lebih banyak senyum melintas daripada aksara yang sekedar merangkak. Ringan, sebenarnya. Menjawab keingintahuan seperti itu bukanlah sulit maupun mudah bagi Luthfi. Sejenak berpikir akan kepuasan sang konsumen juga bukan menjadi halangan. Namun, selalu mengalirlah sang senyum dari situ. Dari paras sederhana itu.
Selain itu, tidak pernah ada kalimat. Meluncur sebagian pun tidak pernah.
Tempat berbeda, waktu berbeda, kawanan yang berbeda pula. Kali lain Luthfi ditanya tentang kehidupan jalanan. Tempat di mana Luthfi menghabiskan sebagian besar hidupnya. Panggung di mana Luthfi biasa mengumpulkan fragmen mimpinya yang tercecer sepanjang trotoar abadi itu. Jawab rupanya tetap bukan pilihan. Derai tawa dan (lagi-lagi) senyum tertumpah dari wajahnya. Mungkin sejarahnya jelek dan memalukan, kita tidak pernah tahu. Atau mungkin mimpinya terlalu muluk? Tidak bisa disangkal juga. Semua tertinggal dalam andai.
Selain itu, tidak pernah ada alinea. Meluncur sebagian pun tidak pernah.
Hari ini Luthfi sedang ingin berujar. Dia ingin menjawab. Namun penanya tidak pernah ada di sana. Di hadapannya. Mereka sibuk dengan Yang-Maha-Kuasa mereka masing-masing. Luthfi tetap berujar meski tidak ada wadah.
Tuhan itu apa? Abstrak adalah bukan-bukan abstrak. Apa yang manusia tidak bisa memanusiakan yang nirfana.
Komunisme dan liberalisme bukan untuk dicerna. Mereka datang untuk pergi dan datang lagi. Semua tergantung permintaan dan penawaran.
Jalanan bukan jalan. Berbeda pada tingkat pondasi lebih berbahaya daripada tidak mengetahui apa-apa.
Dan dedaunan itu tidak oval.
-Yogyakarta, 19 September 2011-
Rokok "proletar" dan musik dangdut sayup-sayup
setengah sadar/setengah mabuk