Mungkin memang hidup itu sedikit membosankan. Kejenuhan bisa datang kapan saja. Tetapi tidak dengan waktu. Sang maha kuasa waktu terus berputar, terus berotasi lambat mengarungi hidup. Mengarungi dunia dan semesta yang semakin menjauh. Dia tetap angkuh berdiri walau diterjang badai
progresifitas yang ganas dan liar. Mengapa? Mengapa waktu? Mengapa waktu yang tetap tegar berdiri? Dia adalah sesuatu yang abstrak. Sesuatu yang nonsens. Sesuatu yang imajinatif. Tetapi fakta berbicara bahwa
dia-lah yang menjadi pemenang di akhir. Dia selalu tertawa paling belakang.
Dia membelenggu kita dengan memberi kita rasa aman yang halusinatif. Memainkan boneka tangan yang adalah kita semua.
Manusia. Dia bukanlah alam. Dia bukanlah tuhan. Dia lebih jauh dari itu. Sebagaimana tidak ada penjelasan yang bisa menjabarkan mengapa matematika memakai angka-angka sebagai bahasanya, seperti itulah waktu bertakhta.
Unquestionable, unstoppable. Dia ada di semua dimensi. Dia menyentuh segala hal.
Sang waktu jugalah yang membuat kita,
manusia, menentang imposibiltas. Mengerahkan seluruh harta dan kuasa yang kita punya untuk melewati halangan abadi, sungguh, tidak ada kekuatan lain yang bisa menggantikan perannya dalam hal ini. Sekiranya tiadalah yang bisa menggantikan kedigdayaan waktu di atas jalur hidup kita. Namun mengapa kita masih sombong terhadapnya? Mengapa kita masih mencoba mengekangnya? tidak cukupkah kuasanya tergambar?
Itulah nasib dan takdir alang-alang di tengah padang. Garis tangan sebutir pasir di tengah gurun.
Mungkin ini adalah yang terpendek dari semua corat-coret di kaki langit, rangkaian esai pendek yang dibuat atas dasar keingintahuan. Tetapi semua ada alasannya. Waktu membuat kita seakan lupa akan tujuan akhir. Garis
finish yang terpampang jelas di depan kita.