jam dinding berdentang dua belas kali tanpa lelah dan capai.
Terlihat anak kecil menangis memegang rambutnya yang ikal tergerai sebahu. Pemandangan yang ironis melihat si anak tampak seperti seorang malaikat. Seorang malaikat yang terjatuh dari singgasana surga. Mata si anak menatap liar kearah bulan. Bulan yang sempurna.Berwarna merah darah karena gerhana total.
Sejenak terbersit keinginan dari hatinya yang paling dalam untuk membunuh dan menghancurkan. Tidak melihat sasaran dan arah hanya menghancurkan. Matanya tiba-tiba menjadi setajam pisau dan menusuk sang Ibu hingga jatuh bersimbah darah. Si anak berhenti menangis dan senyum kecil tersungging di wajahnya. Segala kesusahan dan masalahnya seakan lenyap seketika dan dia tertawa terbahak-bahak seakan tidak ada hari esok. Dia akhirnya menyadari kekuatannya yang tak terbatas. Tatapan mata berbalas darah. Berpikir kehancuran berbuah kiamat.
Dia lahir dari keluarga pemuja dewa perang. Seakan-akan dia adalah sang dewa perang itu sendiri dia keluar dari kamarnya dan mulai berkeliling. Hampir semua penduduk kota itu mati bersimbah darah. Di pusat kota si anak tertawa liar seperti iblis dan kemudian dia terhenyak. Terhenyak. Terhenyak tanpa satu kata pun. Segala kegembiraan dan euforia hilang tanpa jejak. Dia menangis. Menjerit. Muntah tanpa sadar dan merajuk. Dia meraih cermin. Menatap dalam-dalam refleksinya sendiri. Mati. Mati. Mati bersimbah darah. Sama seperti yang lainnya. Dunia berkabung. Daratan memisah. Lautan berubah pasang. Gunung-gunung meledakkan diri. Kiamat adalah nyata tanpa sedikitpun intervensi tuhan didalamnya. Semuanya hilang menjadi ketiadaan.
Dan karena ketiadaan itulah anak kecil yang lain mulai menangis.