TERPROVOKASI
oleh teman-temannya di kampus, Rudi mulai mengambil sebatang rokok dari bungkus
lusuh yang tergeletak di depannya. Dominan merah dengan sedikit aksen hitam dan
garis emas sebagai pemanis. Serr, terasa
sebulir keringat berjalan lancar dari tengkuk menuju punggungnya: mampukah
Rudi? Siapkah Rudi? 18 tahun sejarah hidupnya sebagai Rudi Cahya Juniarto tidak
pernah cacat ternoda oleh sebatang rokok. Pun, apakah sebatang rokok cukup
untuk menoreh noda di hidupnya? Lurus saja, pikirnya. Rudi akhirnya menyelipkan
sebatang rokok tersebut di antara bibirnya. Mata terpejam sejenak, satu
hembusan napas keluar, dan jress.
Lidah api kecil menari di ujung batang rokok disertai tarikan yang dalam. Ah,
pulpen takdir menorehkan satu kata lagi di kertas hidup Rudi: Sebatang rokok.
Bersamaan
dengan arus nikotin yang menyeruak tidak sabar untuk memenuhi paru-parunya,
seketika pula otak Rudi terhenyak. Rasa pusing menggempur setiap sisi otaknya.
Mual dan sebah memenuhi perutnya. Batuk seakan-akan meronta dengan protes:
Bebaskan kami! Tapi Rudi terdiam dalam pejamnya. Dia tidak boleh batuk. Dia tidak akan batuk. Rudi tidak mau
menyerah. Seraya otaknya mulai berangsur tenang dan mualnya hilang, asap sisa
tarikan rokok pertamanya dihembuskan keluar. Bebas. Rudi bebas. Rudi adalah
kapten dari kapalnya sendiri. Akhirnya Rudi menjadi kapten di kapalnya sendiri.
Setidaknya
aku tidak apa-apa, batin Rudi. Satu batang rokok ini adalah langkah selanjutnya
dari hidup Rudi. Anak tangga lain yang harus dipijak untuk nantinya berhadapan
dengan anak tangga lainnya. Terus, terus, dan terus sampai ke lantai
selanjutnya. Aku tidak apa-apa, sekali lagi Rudi memantapkan dirinya. Hisap
lagi dan tarik lagi, Rudi. Matanya sudah tak terpejam untuk yang kedua ini.
Hap, seketika dunia menjadi gelap saat asap rokok menyentuh paru-parunya.
Pusing dan linu tak tertahankan menusuk setiap jengkal tubuhnya, luar dan
dalam. Tersiksa, semi Neraka. Apa kiranya yang akan menyambut Rudi di ujung
lorong yang bercahaya itu? Setidaknya aku tidak apa-apa, batin Rudi dalam
perjalanan batinnya. Ya, setidaknya Kau tidak apa-apa, Rudi. Toh, ujung lorong
itu mungkin adalah anak tangga selanjutnya yang harus kau jejak.
::::::::::
TERBEBAS
dari kekangan tidur jam sembilan malam, Rudi merasa bahwa dia sekarang adalah
laki-laki seutuhnya. Menyelinap dengan langkah ninja untuk menonton televisi
tengah malam, atau hanya sekedar duduk diam di teras menikmati asap obat nyamuk
yang melingkar membentuk pola fraktal di udara yang menggantung tepat di bawah
sinar bohlam kuning. Syahdu, sedikit sendu, namun penuh kemenangan. Rudi berhasil
keluar kamar tanpa diketahui: Dia adalah pemberontak. Dia semakin dekat dengan
bajak laut yang selalu menghampiri imajinya setiap malam. Dia menjadi koboi di
belah barat Amerika seperti dalam lamunannya. Aku adalah kapten kapalku
sendiri, batinnya. Walau sesekali Rudi harus menoleh dengan paranoia kecil dia
merasa bahwa itu hal setimpal baginya untuk menikmati kebebasan. Kebebasan
memberontak.
Rudi
kecil menatap tarian asap obat nyamuk dalam-dalam. Menari tanpa batas dan
aturan baku, rindu akan keleluasaan. Hebat, pikirnya. Mungkin belum waktunya
bagi Rudi untuk mengerti bahwa kesederhanaan bisa membuatnya bahagi layaknya
Sang Asap yang juga sederhana. Kadang asap itu naik seperti memanjat tangga
maya menuju bohlam (mungkin seperti ngengat? Yang mana cahaya selalu
dirindukannya), lalu tiba-tiba jatuh menyentuh wajah kecil Rudi dengan lembut
dan manja, membuatnya terbatuk. Batuk yang berbahaya: Apakah orangtuaku
mendengar batuk ini? Sontak Rudi menoleh ke arah pintu. Matanya memicing sigap.
Telinganya juga dipasang ke mode sensitifitas tertinggi. Deru nyamuk dan gesek
daun pun nyaring dirasa. Satu, dua, tiga menit. Tidak ada tanda-tanda langkah
dari dalam. Aman. Rudi kembali mengagumi dansa Sang Asap, yang ajaibnya masih
menyambut Rudi yang lega dengan belaian lembut dan senyum kasih: Batuk kecil
pun tidak mengapa. Aku bebas, layaknya Sang Asap yang menari sepenuh jiwa.
:::::::::::
RODA
karet mati bergesekan dengan lantai keramik dingin rumah sakit. Suaranya tidak
keras. Tidak bising. Hanya saja suara itu terdengar monoton dan konstan. Gumam pelan
terdengar dari segala arah, sesekali berdialog perihal istilah-istilah medis.
Ah, biar saja. Rudi tidak mengerti. Dunia masih gelap di mata. Sementara ini
biarlah Rudi menjadi manusia setengah kelelawar dengan mengandalkan telinganya.
Paduan bunyi-bunyi abstrak itu disusunnya menjadi simfoni bersahaja dalam
pikirnya.
Sampai
pada akhirnya Rudi bisa berjumpa kembali dengan fungsi matanya. Samar terlihat
satu garis cahaya. Lampu neon? Ah, sayang bukan bohlam kuning. Selain warna,
semua hal terasa sama. Hening, lamunan, cahaya. Tapi dari mana? Dari mana
pikiran ini berasal? Rudi mencoba mengingat kembali, menggali ulang tatanan
data dalam dua belah otaknya.
Belum
Rudi sampai pada lembar buku yang dituju, cahaya sudah masuk dengan komplet ke
retinanya. Lampu neon dan eternit dominan putih-biru tua, kelambu hijau lembut,
televisi yang menggantung. Bunyi yang didengar juga terasa pasti. Rangkaian bip pelan teratur, puji-puji syukur
mengisi sekeliling, pembaca berita nasional yang membosankan. Ini pasti rumah
sakit, ujar Rudi dalam hati. Rudi tergeletak di bangsal rumah sakit. Rudi
tergeletak di bangsal rumah sakit karena rokok yang dihisapnya di kampus, entah
kapan. Mungkin beberapa jam yang lalu, mungkin beberapa hari yang lalu. Nanti
saja diingatnya.
“Beri
aku rokok lagi. Biarkan aku keluar. Aku ingin merokok” ujar Rudi lirih. Beberapa
pasang mata yang ada di sekelilingnya mendadak terbelalak bingung dan gusar. Bukankah
Rudi masuk rumah sakit karena rokok yang dihisapnya? Apa yang diinginkan dari
merokok lagi? Apa yang dicarinya dengan
merokok lagi? Sontak hujan peringatan dan nasihat deras membentur telinga
Rudi. Rudi tidak menjawab. Dia terlalu lemah? Tidak. Dia akhirnya mengakui
kesalahannya? Tidak. Lebih dari itu. Lebih jauh, lebih lama dan dalam dari itu.
Setelah nasihat-nasihat itu reda, Rudi kembali mengucap lirih: “Kalau begitu
tolong nyalakan satu batang rokok. Aku tidak akan menghisapnya. Tidak lagi. Aku
hanya ingin melihatnya.”
Sboff, salah satu teman Rudi akhirnya
menuruti permintaannya, tentunya setelah pendingin ruangan dimatikan. Asap
rokok dengan aroma manis khas menyeruak ke seluruh penjuru bangsal. Sang Asap
menari dengan lantunan cahaya neon. Hal itu seakan menjadi pemantik untuk Rudi.
Rudi tersenyum lemah. Sang Asap berdansa dengan sesekali menggoda Rudi, seakan menjawil dagunya manja. Berputar dan
bergoyang membentuk pola fraktal yang infinitif, tak terbatas. Mendaki tebing
imajiner, untuk selanjutnya jatuh bebas membelai pipi Rudi lembut. Senyum Rudi
semakin jelas dan lebar. Matanya terpejam syahdu. Khidmat.
Rudi
bebas. Kembali menikmati masa-masa pemberontaknya: Suara televisi lewat
sembilan malam, lamunan, cahaya lampu, dan Tarian Sang Asap. Rudi menikmatinya.
Sungguh, Rudi menikmatinya. Sekarang tanpa batuk. Tanpa harus takut dan menoleh
secara berkala. Tanpa khawatir ada langkah dari arah kamar orangtuanya. Walau
tergeletak lemah di bangsal sederhana, tidak masalah. Toh, ada harga yang harus
dibayar untuk kebebasannya, entah itu menyelinap keluar kamar atau menghisap
sebatang rokok yang dia bakar.
Selamat
malam dan selamat datang, Rudi.
:::::::::::
Yogyakarta,
27 Februari 2013.
Cokelat
Mint dan Rokok.
Bebas